Makalah Kekuasaan Kehakiman - Syarif Miftahudin's Blog

Thursday, October 22, 2015

Makalah Kekuasaan Kehakiman

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembentukan Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24 A dan 24 B ayat (3) UUD 1945 dalam masa tugasnya telah banyak melakukan hal-hal yang positif terutama dalam melakukan seleksi hakim agung, namun dalam tugasnya menjaga kehormatan para hakim dari perbuatan-perbuatan yang tercela serta tindakan-tindakan unprofessional conduct dari para hakim belum maksimal. Masih banyak rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial yang menyangkut rekomendasi penindakan terhadap seorang hakim diabaikan oleh Mahkamah Agung.
Secara praktis usaha perwujudan kekuasaan kehakiman yang merdeka bertumpu kepada proses peradilan. Tujuan utama proses peradilan adalah mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu salah satu faktor keberhasilan penegakan hukum adalah terletak pada fungsionaris badan kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi pihak-pihak lain.
Cita-cita mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak mungkin tercapai hanya dengan membiarkan peradilan berjalan sendiri tanpa dukungan lembaga lain. Lembaga yang secara formal diberi tugas dan peran mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas melalui pencalonan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial (lihat konsideran huruf b Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial).
Dalam proses penegakan hukum unsur terpenting dan mempunyai peranan sentral adalah legal aparatus. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang bertugas mengusulkan hakim agung dan mengawasi perilaku hakim supaya sesuai dengan keluhuran profesinya, program kerja Komisi Yudisial harus diarahkan kepada, pertama, penguatan lembaga Komisi Yudisial itu sendiri yaitu dengan menata organisasi kelembagaan Komisi Yudisial, dan kedua pemantapan dari tugas-tugas dan wewenang yang dibebankan oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 2004.
Sebagai sebuah lembaga negara yang mandiri, komisi yudisial harus pula dilengkapi dengan sebuah Dewan Kehormatan yang bertugas memeriksa dan mengadili para anggotanya yang disangka telah melanggar code of conduct yang telah ditetapkan tadi. Dewan kehormatan haruslah terdiri dari orang-orang yang independen dan sedapat mungkin anggota Dewan kehormatan bukan berasal dari komisi yudisial tetapi dari kalangan luar.
Banyak putusan-putusan pengadilan yang apabila diuji petimbangan hukumnya tidak sesuai dengan akal sehat dan common sence serta menunjukkan kelemahan pengetahuan hakim terhadap teori-teori hukum. Kemudian prilaku hakim yang kadang-kadang menggunakan kebebasan yang dimilikinya untuk mengadopsi keterangan saksi ahli yang sebenarnya keterangan saksi ashli pun tidak mencerminkan keahlian yang dimilikinya tetapi karena terjadi konspirasi keterangan ahli tersebut diterima oleh majelis hakim. Praktek-praktek seperti ini sebenarnya merupakan tugas komisi yudisial untuk menghentikan dan mencegahnya. Oleh karena itu, sebuah panel harus dibentuk di komisi yudisial untuk memantau putusan-putusan pengadilan yang tidak mencerminkan keluhuran lembaga ini.
Komisi Yudisial harus menyadari bahwa tugas dan wewenang yang diembannya adalah bersinggungan dengan harapan masyarakat terhadap peradilan. Harapan masyarakat terhadap pengadilan adalah, pertama mendapat pelayanan yang adil dan manusiawi, kedua mendapat pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan, serta ketiga mendapat penyelesaian perkaranya secara efektif, efisien, tuntas dan definitif. Untuk memenuhi harapan masyarakat tersebut tentu diperlukan hakim-hakim yang mempunyai integritas tinggi dan mengedepankan supremasi of moral atas dasar doktrin interest of justice.
Putusan Komisi Yudisial dalam memeriksa para hakim nakal dan tidak profesional sehingga menimbulkan ketidak adilan akan menjadi entry point bagi komisi yudisial untuk menunjukkan bahwa pembentukannya tidak sia-sia, tetapi apabila tidak memenuhi harapan masyarakat, komisi yudisial akan di cap sebagai lembaga yang terlibat langsung dalam berkembangnya mafia peradilan.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kami dapat menarik beberapa permasalahan yang hendak kami bahas, antara lain:
1.   Apa yang menjadi alasan dibentuknya Komisi Yudisial di Republik Indonesia?
2.  Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam reformasi peradilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal yang terkait dengan pengawasan hakim?
3. Bagaimana keterkaitan antara peran Komisi Yudisial dalam reformasi peradilan dan mekanisme recruitment hakim agung?











































BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern, di samping kekuasaan legislatif dan kekuasaan ekskutif. Baik di negara-negara yang menganut civil law maupun common law, baik yang menganut sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer, lembaga kekuasaan kehakiman selalu merupakan lembaga yang bersifat tersendiri.
Secara konstitusional, UUD 1945 menyatakan bahwa dalam kekuasaan kehakiman ini terdapat tiga lembaga. Pertama, Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 A UUD 1945. Kedua, Komisi Yudisial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 B UUD 1945. Dan ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 C UUD 1945.
Dalam ketentuan umum sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman, hakim perlu memperhatikan enam prinsip yang tercantum di dalam The Bangalore Principles, yaitu:
1.      Independensi (Independence principle)
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik secara personal maupun institusi, dari berbagai pengaruh dari luar diri hakim berupe intervensi yang bersifat mempengaruhi secara halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2.      Ketidakberpihakan (Impartiality principle)
Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun, dengan disertai penghayatan mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara.
3.      Integritas (Integrity principle)
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya.
4.      Kepantasan dan Kesopanan (Propriety principle)
Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara, atau kegiatan tertentu. Sedangkan kessopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan, baik dalam tutur kata lisan, tulisan, atau bahasa tubuh, dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku ataupun bergaul.
5.      Kesetaraan (Equality principle)
Prinsip kesetaraan ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk memperlakukan setiap pihak dalm persidangan atau pihak-pihak lain terkait dengan perkara.
6.      Kecakapan dan Kesek samaan (Competence and Diligence principle)
Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam menjalankan tugas. Sementara itu, kesek samaan merupakan sikappribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.



  1. Mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang ( pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 ).
  1. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras – kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biyaya ringan ( pasal 5 ayat 2 ).
  1. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang dijatuhkan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 14 ayat 1 ).
  1. Memeberi keterangan, pertimbngan dan nasehat – nasehat tentang soal – soal hokum kepada lembaga Negara lainya apabila diminta ( pasal 25 ).
  1. Hakim wajib mengali, memngikuti dan memehani nilai – nilai hokum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat ( pasal 28 ayat 1 ).


1.      Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Ketuan Mahkamah Agung saat ini adalah Harifin Tumpa.
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung. Selain itu, Mahkamah Agung juga memiliki domain untuk memeriksa perkara dalam mekanisme Peninjauan Kembali (PK).
Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

2.      Komisi Yudisial
Di dalam kekuasaan kehakiman, juga terdapat suatu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim. Pengawasan ini dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam melaksanakan wewenang itu, Komisi Yudisial mempunyai tugas sebagai berikut:
a.         Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b.         Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c.         Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d.         Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

3.      Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang juga menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara,  Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Rinciannya, tiga orang diajukan oleh Mahkamah Agung, tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang diajukan oleh Presiden. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.         Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
          Tahun 1945;
b.       Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
          oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.        Memutus pembubaran partai politik; dan
d.        Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

B.     Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman
                  Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum). Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.
Indonesia adalah negara hukum, sudah selayaknya menghormati dan menjunjug tinggi prinsip – prinsip hukum, salah satunya adalah diakuinya prinsip keadilan yang bebas yang tidak memihak. Tolak ukuran dapat dilihat sejauh mana kemandirian badan – badan peradilan dalam menjalankan tugas dan kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang – undangan (Hukum) dan keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dalam praktek diselengarakan oleh adan – badan peradilan Negara. Adapun tugas pokok badan peradilan negara adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat pencari keadilan.
Sebagai istitusi yang dibutuhkan  masyrakat, usia pengadilan sudah berbilang ribuan tahun, jauh mendahului usia pengadilan moderen. Urusan atau pekerjaan mengadili adalah salah satu sekian banyak fungsi yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat, sebagai respon terhadap adanya kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan yang dibutuhkan untuk membuat masyrakat menjadi tentram, dan produktif. Didalam masyrakat akan selalu muncul persoaln diantara para angotanya harus diselesaikan. Persoalan – persoalan yang tidak diselesaikan akan menjadi ganguan bagi ketentraman dan produktifitas masyrakat. Suatu istitusi mesti dimunculkan untuk menjalankan fungsi tersebut dan ia adalah Pengadilan.
Kemudia secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No. 4 tahun 2004 merupakan undang – undang yang organik. Sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang meletakan asas – asas, landasan, dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2) UU No. 4 tahun 2004, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan sebuah Makamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a.     Peradilan Umum
b.     Peradilan Agama
c.     Peradilan Militer
d.     Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam menyelengarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Makamah Agung bekedudukan sebagai pengadilan negara tertinggi yang membawai semua lingkungan peradilan di Indonesia, baik lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata uasah negara. Mengenai kedudukan dan wewenang masing – masing lingkungan peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa perundang – undangan, yakni :
a.        UU No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan beberapa perubahanya dalam
           UU No. 5 tahun 2004
b.        UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan beberapa perubahanya dalam UU
           No. 8 tahun 2004
c.           UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara dan beberapa perubahannya
           dalam UU No. 9 tahun 2004
d.        UU No. 7 tahun 1986 tentang peradilan agama dan beberapa perubahannya dalam
           UU No. 3 tahun 2006
e.        UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer
f.         UU No. 24 tahun 2003 tentang Makamah Kostitusi
g.        UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial
Sasaran penyelengaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para penyelengara dilakukan dengan cara meningkatkan integritas pengetahuan dan kemampuan. Sedang peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kimerja para penyelengara peradilan tersebut.
Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan persyaratan penting dalam melakukan kegiatan pememuan hukum oleh hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya intervensi dari pihak – pihak extra judicial lainya, sehinga dapat mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas – tugasnya di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang diajukan oleh pihak – pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Salah seorang hakim merasa bahwa kasus – kasus kriminal tidak perlu menyita perhatianya tetapi ia merasa perlu memeliti setiap detail undang – undang kriminal tersebut. Dan pengaruh tertentu yang mendorong para hakim itu untuk berusaha mengikuti “hukum.” secara analitis, apa yang terjadi pada para hakim itu berlangsung melalui dua tahap. Pilihan pertamanya adalah apakah hendak mengikuti “Hukum” atau tidak. Sikap – sikap, nilai, dan konteks sosial menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah keputusan aktual. Bagaimanapun juga, bagi hakim ini akan berarti bahwa ia selalu “Terikat” oleh huku.
Pegadilan juga dapat digantungkan pada tingkat perlapisan sosial dalam masyrakat, semakin kompleks perlapisaan sosial dalam masyrakat semakin besar pula perbedaan nilai – nilai dan kepentingan antara lapisan dalam masyrakat. Pengadilan disitu sudah menjadi istitusi untuk melindungi kepentingan golongan yang dominan dengan memaksakan berlakunya berlakunya mempertahankan kedudukan mereka. Sebaliknya dalam masyrakat yang lebih sederhana, yaitu dengan tingkat yang perlapisan sosial yang rendah maka kesepakatan nilai – nilai relatif lebih mudah untuk dicapai.
                 Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak maka manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi peradilan, sehiga para hakim yang menyalah gunakan jabatan menjadi sulit tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan terutama “Judicial corruption” menjadi semakin sulit diberantas, jika tidak para “hakim Nakal” berlindung pada asas kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman yang diletakan tidak pada tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa kebebasaan dalam melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum keadilan berdasarkan pancasila, sehinga putusanya mencerminkan rasa keadialan rakyat Indonesia.

C.    Tugas dan Kewajiban Hakim
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibanya sebagaimana telah diatur dalam perundang – undangan. Setelah memahami tugas dan kewajibannya, selanjutnya hakin harus berupaya secara propesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaanya.
Hakikatnya tugas pokok hakim adalah, menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut, yang dalam hal ini dapat  dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tugas hakim secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili suatu perkara. Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normative telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 antara lain :

Diasmping itu tugas hakim secara normative sebagaimana ditentukan dalam perundang – undangan, hakim juga mempunyai tugas – tugas secara kongret dalam memeriksa dan mengadli suatu perkara melalui tiga tindakan  secara bertahap, yaitu :
1.      Mengkonstatir ( mengkonstatasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konret. Hakim mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah dijatuhkan para pihak dimuka persidangan. Syaratnya dalah peristiwa konret itu harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim yidak boleh menyatakn suatu peristiwa konret itu bener – benar terjadi. Jadi mengkostatir berarti menetapkan peristiwa konret dengan membuktikan peristiwa atau mengangap atau terbuktinya peristiwa tersebut.
2.      Mengkualifisir ( mengkualifikasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan suatu hukumnya. Hakim nenilai peristiwa yang telah diangab benar – benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana seperti apa. Dengan kata lain menkualifisir adalah menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikostatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengualifikasi dilakukan dengan cara mengarahkan peristiwanya kepada hukum atau undang – undangnya, agar aturan hukum atau perundang – undangan tersebut dapat diterapkan pada peristiwanya.. sebaliknya undang – undangnya juga  harus disesuaikan dengan peristiwanya  agar undang – undang tersebut dapat mencakup atau meliputi peristiwanya.
3.      Mengkostituir ( mengkostitusi ) atau memeberikan kostitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberikan keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Disini hakim mengambil keputusan dari adanya premis mayor ( peraturan hukumnya ) dan premis minor ( peristiwa). Dalam memeberikan keputusan, hakim perlu memperhatikan factor yang memberikan factor yang seharusnya diterapkan secara proposional yaitu keadilan ( grechtigkeit ), kepastian hukumnya ( rechtssicherheit ), dan kemanfaatanya ( zweckmassingkeit ).Gr. Van der Brught dan J.D.C Wilkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seoprang hakim dalam menyelesaikan kasus atau peristiwa, yaitu :
a.    Meletakan kasus dalam peta ( memetakan Kasus ) atau memeparkan kasus dalam sebuah
      ihtiar (Peta),artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (
      mensekematisasi).
b    Menerjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis (Mengkualifikasi,
      Pengkualifikasian).
c.   Menyeleksi aturan – aturan hukum yang relevan.
d.   Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan – aturan hukum itu.
e.   Menerapkan aturan – aturan  hukum pada kasusnya.
f.    Mengevakuasi dan menimbang (mengkaji) argumen – argumen dan penyelesaian.
g.   Merumuskan formulasi penyelesaiaan.
Disamping itu dalam melaksanaakn dan memimpin jalanya proses persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak diperkenankan menunda – nunda persidangan tersebut. Pasal 159 ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBg menyebutkan : “pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan keda belah pihak dan tidak boleh diperintahkan Pengadilaan Negeri karena jabatanya, melainkan dalam hal yang terlambat perlu”  Dalam praktik hakim terkadang terlalu lunak sikapnya terhadap permohonaan persidangaan dari para pihak atas kuasnya. Adapun beberapa hal yang sering menyebabkan tertundanya sidang antara lain :
1.     Tidak hadirnya para pihak atau kuasanya secara bergantian.
2.     Selalu minta ditundanya sidang oleh para pihak.
3.     Tidak datangnya saksi walau sudah dipangil.
Untuk mengatisipasi hal tersebut maka diperlukan peran hakim yang aktif  terutama dalam mengatasi hambatan dan tintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat (Speedy Administration Of Justice). Perlu ketegasaan hakim untuk menolak permohonaan penundaan persidangaan dari pihak, kalau berangaapan hal itu tidak perlu. Berlarut – latutnya atau tertunda – tundanya jalanya peradilan akan mengurangi kepercayaan masyrakaat kepada peradilaan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (Justice Delayet Is Justice Denied).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Karena alasan-alasan yang terjadi di Indonesia itulah, dan untuk mereformasi peradilan yang ada, maka Komisi Yudisial dibentuk. Berdasar amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005//PUU-IV//2006, keseluruhan kata-kata Hakim dalam UU No. 22 Tahun 2004 baik dalam bentuk pengawasan dan usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial dan semua aturan pelaksanaannya harus merujuk pada amar putusan MK tersebut yang termaktub dalam ketentuan umum pasal 1 angka 5 UU No. 22 tahun 2004.
·    Hakim sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia guna terwujudnya keadilan, tanpa hukum manusia akan liar, dan tugas pokok hakim adalah memeriksa mengadili memutus dan menyelesaikan masalh atau perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat para pencari keadilan.
·   Kekuasaan kehakiman untuk menumbuhkan kemandirian para penyelenhara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kehakiman peradilan yang berkualitas dengan meningkatkan integritas, ilmu pengetahuaan dan pengalaman.
·         Kemandirian kekuasaaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral, keluhuran dan kehormatan martabat hakim karena kalau tidak maka manipulasi dan mafi peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi peradilan, sehinga para hakim yang menyalah gunakan jabatanya menjadi sulit disentuh hukum.
·   Hakim mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinanya yang seadil – adilnya serta memberi manfaat bagi masyrakat sehinga dapat berfungsi sebagai pengerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
·      Hukum itu netral yakni tidak memihak pada pihak –pihak tertentu dan hakim juga harus mengadili menurut hukum yang berlaku dan yang sudah ditetapkan oleh undang – undang, oleh karena itu putusanya harus berdasarkan hukum itu, dan harus mengandung  atau menjamin kepastian hukum yang berarti bahwa ada jaminan bahwa hukum dijalankan, dan dismping itu pula putusan hakim harus bermanfaat baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyrakat.
















DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. Makalah Fungsi Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan Sebelum dan
       Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi.
Asshidiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo
       Persada.
Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi
       Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Soeparto, Soekotjo. Makalah Peran Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan yang Bersih dan Berwibawa.
A.Mukit, Arto,”Mencari Keadilan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2001
Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW,        Jakarta,2002
Friedman, Lawrence M., “Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial”, Musa Media, Bandung,
       2009
Mocthar, Kusumatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
       Nasional, Fak. Hukum Universitas Pajajaran, Bina Cipta, Bandung, 1986
Munir, Fuady, “Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidak Berdayaan Hukum”, Citra Abady
       Bakti, Bandung, 2003
Rahardjo, Satjipto. “Sosiologi Hukum”, Muhamadiyah University Press,     Surakarta, 2004
Sarwata, Kebijaksanaan Strategi Penegakan Sistem Peradilan Di Indonesia, Lemhanas, 19 Agustus 1997
Shidarta,”Karakteristik Penalaran Hokum Dalam Konteks Ke
          Indonesiaan”, Universitas Katolik Parayangan, 2004
Soerjono Soekamto, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,       Rajawali,
        Jakarta, 1983
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1990
-----------------------------,”Penemuaan Hokum Sebuah Pengantar”, Liberty, Yogyakarta, 1996

(2014). Makalah Kekuasaan Kehakiman. [Online]. Tersedia: http://www.pusatmakalah.com. Html [1 September 2015].

No comments:

Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..