BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan Komisi Yudisial yang
merupakan amanat dari konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24 A dan 24
B ayat (3) UUD 1945 dalam masa tugasnya telah banyak melakukan hal-hal yang positif
terutama dalam melakukan seleksi hakim agung, namun dalam tugasnya menjaga
kehormatan para hakim dari perbuatan-perbuatan yang tercela serta
tindakan-tindakan unprofessional conduct dari para hakim belum maksimal. Masih
banyak rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial yang
menyangkut rekomendasi penindakan terhadap seorang hakim diabaikan oleh
Mahkamah Agung.
Secara praktis usaha perwujudan
kekuasaan kehakiman yang merdeka bertumpu kepada proses peradilan. Tujuan utama
proses peradilan adalah mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Oleh
karena itu salah satu faktor keberhasilan penegakan hukum adalah terletak pada
fungsionaris badan kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi pihak-pihak
lain.
Cita-cita mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka tidak mungkin tercapai hanya dengan membiarkan peradilan
berjalan sendiri tanpa dukungan lembaga lain. Lembaga yang secara formal diberi
tugas dan peran mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas melalui pencalonan
hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial
(lihat konsideran huruf b Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial).
Dalam proses penegakan hukum unsur
terpenting dan mempunyai peranan sentral adalah legal aparatus. Oleh karena
itu, sebagai lembaga yang bertugas mengusulkan hakim agung dan mengawasi
perilaku hakim supaya sesuai dengan keluhuran profesinya, program kerja Komisi
Yudisial harus diarahkan kepada, pertama, penguatan lembaga Komisi Yudisial itu
sendiri yaitu dengan menata organisasi kelembagaan Komisi Yudisial, dan kedua
pemantapan dari tugas-tugas dan wewenang yang dibebankan oleh Undang-undang
Nomor 22 tahun 2004.
Sebagai sebuah lembaga negara yang
mandiri, komisi yudisial harus pula dilengkapi dengan sebuah Dewan Kehormatan
yang bertugas memeriksa dan mengadili para anggotanya yang disangka telah
melanggar code of conduct yang telah ditetapkan tadi. Dewan kehormatan haruslah
terdiri dari orang-orang yang independen dan sedapat mungkin anggota Dewan
kehormatan bukan berasal dari komisi yudisial tetapi dari kalangan luar.
Banyak putusan-putusan pengadilan
yang apabila diuji petimbangan hukumnya tidak sesuai dengan akal sehat dan
common sence serta menunjukkan kelemahan pengetahuan hakim terhadap teori-teori
hukum. Kemudian prilaku hakim yang kadang-kadang menggunakan kebebasan yang
dimilikinya untuk mengadopsi keterangan saksi ahli yang sebenarnya keterangan
saksi ashli pun tidak mencerminkan keahlian yang dimilikinya tetapi karena
terjadi konspirasi keterangan ahli tersebut diterima oleh majelis hakim.
Praktek-praktek seperti ini sebenarnya merupakan tugas komisi yudisial untuk
menghentikan dan mencegahnya. Oleh karena itu, sebuah panel harus dibentuk di
komisi yudisial untuk memantau putusan-putusan pengadilan yang tidak
mencerminkan keluhuran lembaga ini.
Komisi Yudisial harus menyadari
bahwa tugas dan wewenang yang diembannya adalah bersinggungan dengan harapan
masyarakat terhadap peradilan. Harapan masyarakat terhadap pengadilan adalah,
pertama mendapat pelayanan yang adil dan manusiawi, kedua mendapat pelayanan
yang baik dan bantuan yang diperlukan, serta ketiga mendapat penyelesaian
perkaranya secara efektif, efisien, tuntas dan definitif. Untuk memenuhi
harapan masyarakat tersebut tentu diperlukan hakim-hakim yang mempunyai
integritas tinggi dan mengedepankan supremasi of moral atas dasar doktrin
interest of justice.
Putusan Komisi Yudisial dalam
memeriksa para hakim nakal dan tidak profesional sehingga menimbulkan ketidak
adilan akan menjadi entry point bagi komisi yudisial untuk menunjukkan bahwa
pembentukannya tidak sia-sia, tetapi apabila tidak memenuhi harapan masyarakat,
komisi yudisial akan di cap sebagai lembaga yang terlibat langsung dalam
berkembangnya mafia peradilan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kami
dapat menarik beberapa permasalahan yang hendak kami bahas, antara lain:
1. Apa yang menjadi alasan
dibentuknya Komisi Yudisial di Republik Indonesia?
2. Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam
reformasi peradilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa
pasal yang terkait dengan pengawasan hakim?
3. Bagaimana keterkaitan antara peran Komisi
Yudisial dalam reformasi peradilan dan mekanisme recruitment hakim agung?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman atau kekuasaan
yudikatif merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern, di
samping kekuasaan legislatif dan kekuasaan ekskutif. Baik di negara-negara yang
menganut civil law maupun common law, baik yang menganut sistem pemerintahan
presidensial maupun parlementer, lembaga kekuasaan kehakiman selalu merupakan
lembaga yang bersifat tersendiri.
Secara konstitusional, UUD 1945
menyatakan bahwa dalam kekuasaan kehakiman ini terdapat tiga lembaga. Pertama,
Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 A UUD 1945. Kedua, Komisi
Yudisial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 B UUD 1945. Dan ketiga, Mahkamah
Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 C UUD 1945.
Dalam ketentuan umum sebagaimana
tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman, hakim perlu
memperhatikan enam prinsip yang tercantum di dalam The Bangalore Principles,
yaitu:
1. Independensi (Independence
principle)
Independensi hakim dan pengadilan
terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik secara personal maupun
institusi, dari berbagai pengaruh dari luar diri hakim berupe intervensi yang
bersifat mempengaruhi secara halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau
balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau
kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman
penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan
berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2. Ketidakberpihakan (Impartiality
principle)
Ketidakberpihakan mencakup sikap
netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara,
dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun, dengan disertai penghayatan
mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara.
3. Integritas (Integrity principle)
Integritas hakim merupakan sikap
batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim
sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya.
4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety
principle)
Kepantasan tercermin dalam
penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan
diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara, atau
kegiatan tertentu. Sedangkan kessopanan terwujud dalam perilaku hormat dan
tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan, baik dalam tutur kata lisan,
tulisan, atau bahasa tubuh, dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku
ataupun bergaul.
5. Kesetaraan (Equality principle)
Prinsip kesetaraan ini secara
esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk memperlakukan setiap pihak dalm
persidangan atau pihak-pihak lain terkait dengan perkara.
6. Kecakapan dan Kesek samaan
(Competence and Diligence principle)
Kecakapan tercermin dalam kemampuan
profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau
pengalaman dalam menjalankan tugas. Sementara itu, kesek samaan merupakan
sikappribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian,
ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.
- Mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang ( pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 ).
- Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras – kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biyaya ringan ( pasal 5 ayat 2 ).
- Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang dijatuhkan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 14 ayat 1 ).
- Memeberi keterangan, pertimbngan dan nasehat – nasehat tentang soal – soal hokum kepada lembaga Negara lainya apabila diminta ( pasal 25 ).
- Hakim wajib mengali, memngikuti dan memehani nilai – nilai hokum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat ( pasal 28 ayat 1 ).
1. Mahkamah
Agung
Mahkamah Agung merupakan lembaga
yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang membawahi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara. Ketuan Mahkamah Agung saat ini adalah Harifin Tumpa.
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan
mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah agung. Selain itu, Mahkamah Agung juga memiliki domain untuk
memeriksa perkara dalam mekanisme Peninjauan Kembali (PK).
Mahkamah Agung juga mempunyai
kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
2. Komisi Yudisial
Di dalam kekuasaan kehakiman, juga
terdapat suatu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk menjaga kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim. Pengawasan ini
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam melaksanakan wewenang itu, Komisi Yudisial
mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Melakukan
pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan
seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan
calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan
calon Hakim Agung ke DPR.
3. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga yang juga menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi berkedudukan
di ibukota negara, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Rinciannya, tiga orang diajukan
oleh Mahkamah Agung, tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang diajukan oleh Presiden. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun
1945;
b. Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus
pembubaran partai politik; dan
d. Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
B. Hukum Dan Kekuasaan
Kehakiman
Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya
peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum). Eksistensi hukum
sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum
kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa. Tujuan
hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan
kewajibannya.
Indonesia adalah negara hukum, sudah
selayaknya menghormati dan menjunjug tinggi prinsip – prinsip hukum, salah
satunya adalah diakuinya prinsip keadilan yang bebas yang tidak memihak. Tolak
ukuran dapat dilihat sejauh mana kemandirian badan – badan peradilan dalam
menjalankan tugas dan kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang –
undangan (Hukum) dan keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya kemerdekaan
kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dalam praktek
diselengarakan oleh adan – badan peradilan Negara. Adapun tugas pokok badan
peradilan negara adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat pencari keadilan.
Sebagai istitusi yang
dibutuhkan masyrakat, usia pengadilan sudah berbilang ribuan tahun, jauh
mendahului usia pengadilan moderen. Urusan atau pekerjaan mengadili adalah
salah satu sekian banyak fungsi yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat,
sebagai respon terhadap adanya kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan
yang dibutuhkan untuk membuat masyrakat menjadi tentram, dan produktif. Didalam
masyrakat akan selalu muncul persoaln diantara para angotanya harus
diselesaikan. Persoalan – persoalan yang tidak diselesaikan akan menjadi
ganguan bagi ketentraman dan produktifitas masyrakat. Suatu istitusi mesti
dimunculkan untuk menjalankan fungsi tersebut dan ia adalah Pengadilan.
Kemudia secara khusus, kekuasaan
kehakiman telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Dengan demikian UU No. 4 tahun 2004 merupakan undang – undang yang organik.
Sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang meletakan asas – asas, landasan,
dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2)
UU No. 4 tahun 2004, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Makamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan sebuah Makamah
Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha
Negara
Dalam menyelengarakan kekuasaan
kehakiman tersebut, Makamah Agung bekedudukan sebagai pengadilan negara
tertinggi yang membawai semua lingkungan peradilan di Indonesia, baik
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan
tata uasah negara. Mengenai kedudukan dan wewenang masing – masing lingkungan
peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa perundang –
undangan, yakni :
a. UU
No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan beberapa perubahanya dalam
UU No. 5 tahun 2004
b. UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan
beberapa perubahanya dalam UU
No. 8
tahun 2004
c. UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata
usaha negara dan beberapa perubahannya
dalam
UU No. 9 tahun 2004
d. UU No. 7
tahun 1986 tentang peradilan agama dan beberapa perubahannya dalam
UU
No. 3 tahun 2006
e. UU
No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer
f. UU
No. 24 tahun 2003 tentang Makamah Kostitusi
g. UU
No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial
Sasaran penyelengaraan kekuasaan
kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian para penyelengara kekuasaan
kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para
penyelengara dilakukan dengan cara meningkatkan integritas pengetahuan dan
kemampuan. Sedang peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kimerja para
penyelengara peradilan tersebut.
Kemandirian kekuasaan kehakiman
merupakan persyaratan penting dalam melakukan kegiatan pememuan hukum oleh
hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti
tidak adanya intervensi dari pihak – pihak extra judicial lainya, sehinga dapat
mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas –
tugasnya di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan
sengketa yang diajukan oleh pihak – pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi
ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang
mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Salah seorang hakim merasa bahwa
kasus – kasus kriminal tidak perlu menyita perhatianya tetapi ia merasa perlu
memeliti setiap detail undang – undang kriminal tersebut. Dan pengaruh tertentu
yang mendorong para hakim itu untuk berusaha mengikuti “hukum.” secara
analitis, apa yang terjadi pada para hakim itu berlangsung melalui dua tahap.
Pilihan pertamanya adalah apakah hendak mengikuti “Hukum” atau tidak. Sikap –
sikap, nilai, dan konteks sosial menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah
keputusan aktual. Bagaimanapun juga, bagi hakim ini akan berarti bahwa ia
selalu “Terikat” oleh huku.
Pegadilan juga dapat digantungkan
pada tingkat perlapisan sosial dalam masyrakat, semakin kompleks perlapisaan
sosial dalam masyrakat semakin besar pula perbedaan nilai – nilai dan
kepentingan antara lapisan dalam masyrakat. Pengadilan disitu sudah menjadi
istitusi untuk melindungi kepentingan golongan yang dominan dengan memaksakan
berlakunya berlakunya mempertahankan kedudukan mereka. Sebaliknya dalam
masyrakat yang lebih sederhana, yaitu dengan tingkat yang perlapisan sosial
yang rendah maka kesepakatan nilai – nilai relatif lebih mudah untuk dicapai.
Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai dengan integritas
moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak maka
manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi
peradilan, sehiga para hakim yang menyalah gunakan jabatan menjadi sulit
tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan terutama “Judicial corruption” menjadi
semakin sulit diberantas, jika tidak para “hakim Nakal” berlindung pada asas
kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman yang diletakan tidak pada
tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa kebebasaan dalam
melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah
untuk menegakan hukum keadilan berdasarkan pancasila, sehinga putusanya
mencerminkan rasa keadialan rakyat Indonesia.
C. Tugas dan Kewajiban Hakim
Hakim merupakan pelaku inti yang
secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan
kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan
kewajibanya sebagaimana telah diatur dalam perundang – undangan. Setelah memahami
tugas dan kewajibannya, selanjutnya hakin harus berupaya secara propesional
dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaanya.
Hakikatnya tugas pokok hakim adalah,
menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya. Meskipun tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci
lebih lanjut, yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
yaitu tugas hakim secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam
mengadili suatu perkara. Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang
peradilan secara normative telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 antara lain :
Diasmping itu tugas hakim secara
normative sebagaimana ditentukan dalam perundang – undangan, hakim juga
mempunyai tugas – tugas secara kongret dalam memeriksa dan mengadli suatu
perkara melalui tiga tindakan secara bertahap, yaitu :
1. Mengkonstatir
( mengkonstatasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konret. Hakim
mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah dijatuhkan para
pihak dimuka persidangan. Syaratnya dalah peristiwa konret itu harus dibuktikan
terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim yidak boleh menyatakn suatu peristiwa
konret itu bener – benar terjadi. Jadi mengkostatir berarti menetapkan
peristiwa konret dengan membuktikan peristiwa atau mengangap atau terbuktinya
peristiwa tersebut.
2. Mengkualifisir
( mengkualifikasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan suatu hukumnya. Hakim
nenilai peristiwa yang telah diangab benar – benar terjadi itu termasuk dalam
hubungan hukum yang mana seperti apa. Dengan kata lain menkualifisir adalah
menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikostatir dengan jalan
menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengualifikasi
dilakukan dengan cara mengarahkan peristiwanya kepada hukum atau undang –
undangnya, agar aturan hukum atau perundang – undangan tersebut dapat
diterapkan pada peristiwanya.. sebaliknya undang – undangnya juga harus
disesuaikan dengan peristiwanya agar undang – undang tersebut dapat mencakup
atau meliputi peristiwanya.
3. Mengkostituir
( mengkostitusi ) atau memeberikan kostitusinya, yaitu hakim menetapkan
hukumnya dan memberikan keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Disini
hakim mengambil keputusan dari adanya premis mayor ( peraturan hukumnya ) dan
premis minor ( peristiwa). Dalam memeberikan keputusan, hakim perlu
memperhatikan factor yang memberikan factor yang seharusnya diterapkan secara
proposional yaitu keadilan ( grechtigkeit ), kepastian hukumnya (
rechtssicherheit ), dan kemanfaatanya ( zweckmassingkeit ).Gr. Van der Brught
dan J.D.C Wilkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seoprang
hakim dalam menyelesaikan kasus atau peristiwa, yaitu :
a. Meletakan kasus dalam peta (
memetakan Kasus ) atau memeparkan kasus dalam sebuah
ihtiar
(Peta),artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (
mensekematisasi).
b Menerjemahkan
kasus itu kedalam peristilahan yuridis (Mengkualifikasi,
Pengkualifikasian).
c. Menyeleksi aturan – aturan hukum
yang relevan.
d. Menganalisis dan menafsirkan
(interpretasi) terhadap aturan – aturan hukum itu.
e. Menerapkan aturan – aturan
hukum pada kasusnya.
f. Mengevakuasi dan menimbang
(mengkaji) argumen – argumen dan penyelesaian.
g. Merumuskan formulasi
penyelesaiaan.
Disamping itu dalam melaksanaakn dan
memimpin jalanya proses persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak
diperkenankan menunda – nunda persidangan tersebut. Pasal 159 ayat 4 HIR atau
pasal 186 ayat 4 RBg menyebutkan : “pengunduran (penundaan) tidak boleh
diberikan atas permintaan keda belah pihak dan tidak boleh diperintahkan
Pengadilaan Negeri karena jabatanya, melainkan dalam hal yang terlambat
perlu” Dalam praktik hakim terkadang terlalu lunak sikapnya terhadap
permohonaan persidangaan dari para pihak atas kuasnya. Adapun beberapa hal yang
sering menyebabkan tertundanya sidang antara lain :
1. Tidak hadirnya para
pihak atau kuasanya secara bergantian.
2. Selalu minta
ditundanya sidang oleh para pihak.
3. Tidak datangnya saksi
walau sudah dipangil.
Untuk mengatisipasi hal tersebut
maka diperlukan peran hakim yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan
dan tintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat (Speedy
Administration Of Justice). Perlu ketegasaan hakim untuk menolak permohonaan
penundaan persidangaan dari pihak, kalau berangaapan hal itu tidak perlu.
Berlarut – latutnya atau tertunda – tundanya jalanya peradilan akan mengurangi
kepercayaan masyrakaat kepada peradilaan yang mengakibatkan berkurangnya
kewibawaan pengadilan (Justice Delayet Is Justice Denied).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karena alasan-alasan yang terjadi di
Indonesia itulah, dan untuk mereformasi peradilan yang ada, maka Komisi
Yudisial dibentuk. Berdasar amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005//PUU-IV//2006, keseluruhan kata-kata Hakim dalam UU No. 22 Tahun 2004 baik
dalam bentuk pengawasan dan usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial dan
semua aturan pelaksanaannya harus merujuk pada amar putusan MK tersebut yang
termaktub dalam ketentuan umum pasal 1 angka 5 UU No. 22 tahun 2004.
· Hakim
sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia guna terwujudnya
keadilan, tanpa hukum manusia akan liar, dan tugas pokok hakim adalah memeriksa
mengadili memutus dan menyelesaikan masalh atau perkara – perkara yang diajukan
oleh masyrakat para pencari keadilan.
· Kekuasaan
kehakiman untuk menumbuhkan kemandirian para penyelenhara kekuasaan kehakiman
dalam rangka mewujudkan kehakiman peradilan yang berkualitas dengan
meningkatkan integritas, ilmu pengetahuaan dan pengalaman.
· Kemandirian
kekuasaaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral, keluhuran dan
kehormatan martabat hakim karena kalau tidak maka manipulasi dan mafi peradilan
bisa saja berlindung dibawah independensi peradilan, sehinga para hakim yang
menyalah gunakan jabatanya menjadi sulit disentuh hukum.
· Hakim mengambil
keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinanya yang
seadil – adilnya serta memberi manfaat bagi masyrakat sehinga dapat berfungsi
sebagai pengerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
· Hukum
itu netral yakni tidak memihak pada pihak –pihak tertentu dan hakim juga harus
mengadili menurut hukum yang berlaku dan yang sudah ditetapkan oleh undang –
undang, oleh karena itu putusanya harus berdasarkan hukum itu, dan harus
mengandung atau menjamin kepastian hukum yang berarti bahwa ada jaminan
bahwa hukum dijalankan, dan dismping itu pula putusan hakim harus bermanfaat
baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyrakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. Makalah Fungsi Komisi Yudisial
dalam Reformasi Peradilan Sebelum dan
Sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi.
Asshidiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan
Tiada: Reformasi
Hukum Ketatanegaraan.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Soeparto, Soekotjo. Makalah Peran Komisi
Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan yang Bersih dan Berwibawa.
A.Mukit, Arto,”Mencari Keadilan”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta,2001
Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir
Mafia Peradilan, ICW, Jakarta,2002
Friedman, Lawrence M., “Sistem Hukum Persfektif
Ilmu Sosial”, Musa Media, Bandung,
2009
Mocthar, Kusumatmadja, Fungsi Dan Perkembangan
Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Fak. Hukum Universitas Pajajaran,
Bina Cipta, Bandung, 1986
Munir, Fuady, “Aliran Hukum Kritis Paradigma
Ketidak Berdayaan Hukum”, Citra Abady
Bakti,
Bandung, 2003
Rahardjo, Satjipto. “Sosiologi Hukum”,
Muhamadiyah University Press, Surakarta, 2004
Sarwata, Kebijaksanaan Strategi Penegakan Sistem Peradilan Di
Indonesia, Lemhanas, 19 Agustus 1997
Shidarta,”Karakteristik Penalaran Hokum Dalam
Konteks Ke
Indonesiaan”, Universitas Katolik Parayangan,
2004
Soerjono Soekamto, Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,
Jakarta,
1983
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, 1990
-----------------------------,”Penemuaan Hokum
Sebuah Pengantar”, Liberty, Yogyakarta, 1996
(2014).
Makalah Kekuasaan Kehakiman. [Online].
Tersedia: http://www.pusatmakalah.com. Html [1 September 2015].
No comments:
Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..