Hari ini matahari terik
sekali namun dalam imajinasi Romi ia sedang berada di tengah taman yang
menyegarkan. Padahal ia termenung di halte jalan.
“Bagaimana caranya?” Tiba-tiba ia bergumam sendiri.
Tanpa terasa petang menjelang,
Romi akhirnya meninggalkan taman impiannya sambil cengar-cengir sendiri nampak
sudah mendapatkan jawaban atas rencananya.
∞∞∞∞∞
Sepagi ini Romi berangkat
hanya dengan menyelendangkan tas belel kesayangannya “Tas keberuntungan,” ia
bilang. Sambil menepuk-nepuk tas yang sudah tidak jelas memiliki warna apa Romi
berjalan penuh semangat.
Dari kejauhan terlihat
Budi dengan bawaan seperti orang hendak berkemah membuat Romi kesal bukan
kepalang.
“Aku
telat! Emakku ribet mempersiapkan kepergian kita.”
“Kita
tidak dalam perjalanan camping Bud!”
Romi menepuk jidat sendiri sambil memandang ramsel besar dan karung beras
bawaan Budi.
“Hei
… kawan, Aku enggak mau ambil risiko kalau-kalau semasa menjalankan misi kita
kelaparan.”
Romi nyengir saja sambil
mendahului Budi yang ribet akan barang bawaannya.
“Rom
tunggu ….” Budi berusaha berlari namun payah.
∞∞∞∞∞
Setelah melewati jalan
yang tidak mudah ditempuh akhirnya Romi dan Budi sampai juga ditempat yang
mereka tuju. Sebuah tempat yang asri, padi menguning di sepanjang jalan.
“Apa
yang akan kita lakukan Rom?” Tanya Budi.
“Manen
Bud! Jadi petani”
“Bisa
hitam kulit ini.”
“Emang
kulit kau putih, hah?”
“Coklat.”
“Lumayan
buat camilan.”
∞∞∞∞∞
Mereka mengunjungi rumah salah
satu warga Desa yang ternyata rumah Camat.
“Den
Romi dan Den Budi bisa menginap disini, istirahatlah dulu! Besok pagi baru saya
antar ke kampung yang ada di koran itu.”
“Siap
laksanakan!” Budi berlagak bak anggota militer.
Jam 07.00 PM.
“Rom,
apa Pak Camat punya anak gadis?”
“Memangnya
mau apa kau ini?”
“Kita
harus menjadikan team dan ikut ke
kampung itu Rom”
Romi menatap Budi, mereka
saling tatap dan mengkerutkan dahi masing-masing.
“Tumben
kau benar, kita memang membutuhkan wanita sebagai pemancing”
Hidung Budi merekah, bukan
itu maksudnya. Ah … mereka tidak memiliki pemikiran yang sama.
Seseorang mengetuk pintu kamar
dari luar.
Romi bangkit dari
duduknya dan membuka pintu lalu terpesona. Matanya tidak berkedip untuk sesaat
sebelum Budi nimbrung dan membatalkan lagu romantis yang baru saja akan diputar
di kepala Romi.
“Mas
Romi sama Mas Budi di tunggu Bapak untuk makan malam bersama di ruang depan”
Suara yang tegas untuk ukuran wajah yang begitu anggun.
“Laksanakan!”
Budi memberi hormat, Romi menampolnya. Gadis di depan mereka tak acuh
meninggalkan.
Suasana makan malam
berubah menegangkan ketika gadis tadi yang ternyata anak Pak Camat mengacungkan
pisau. Romi dan Budi saling pandang lagi, apa kali ini pemikiran mereka sama?
Hanya Tuhan yang tahu sebelum keduanya kembali ke kamar dan bercerita.
“Cah
Ayu … baiklah baiklah! Bapak mengizinkanmu ikut dengan Den Romi dan Den Budi”
Gadis itu tersenyum lalu menatap
Romi dan Budi secara bergantingan. Yang di tatap malah bengong bagai mendapat
angin segar.
“Saya
menitipkan anak saya kepada kalian,” ucap Pak camat pada Romi dan Budi.
Bu camat yang duduk di
sebelah Pak Camat mulai menyeka air matanya. Aihssss …. Budi ikut-ikutan mengeluarkan air mata, kelilipan
kotoran cicak.
∞∞∞∞∞
Pagi ini Romi, Budi dan
Ayu diantar Sopir keluarga Pak Camat pergi menuju kampung yang di tuju dengan
menaiki mobil box terbuka.
Sesampainya disana Sopir
yang ditugaskan Pak Camat undur diri.
“Den,
maap saya tidak bisa antar sampai ke dalam.”
“Tidak
usah khawatir pakdhe, kami akan baik-baik saja,” Ayu yang menjawab.
Kini hanya Romi, Budi dan
Ayu. Mereka mulai memasuki wilayah yang
tidak seorangpun warga sekitar berani memasuki kampung tersebut.
Dilihatnya pemandangan
yang normal para anak bermain dengan permainan tradisional. Mereka begitu ceria
dan bahagia, gadis remaja tanggung yang menjemur pakaian, dan para wanita paruh
baya sedang menumbuk padi. Hemm …
Romi baru sadar bahwa sepanjang penglihatannya ia tidak melihat laki-laki
dewasa maupun anak-anak.
Sadar akan kedatangan
warga luar, para mata perempuan yang sedang beraktifitas tersebut memandangi
mereka bertiga sampai seorang wanita kira-kira berusia 45 tahun menghampiri.
“Siapa
kalian dan mau apa kemari?”
“Kami
meminta anak gadis kau Ibu.” Romi angkat bicara.
“Berapa
digit?”
“Sembilan,”
jawab Budi yakin. Dalam hatinya mengingat-ingat sisa uang dalam saku yang
bahkan tidak sampai 5 digit.
“Ikut
denganku!”
Sepanjang mengikuti
wanita tersebut yang akhirnya diketahui memiliki nama Mahadri atau lebih akrab
disapa Nyai Maha semua mata warga memandang mereka. Satu diantaranya seorang
gadis sekitar 15 tahun menatap tajam.
Setibanya di rumah Nyai
Maha mereka duduk di ruang kehormatan. Ruang kehormatan sendiri hanya terbuka
untuk orang-orang yang hendak membeli, jelas Mahadri ketika mempersilahkan.
“Lalu
untuk apa wanita ini kemari?” Menatap Ayu kasar.
“Dia
pembantu kami.” Berani sekali Budi bicara seperti itu terhadap anak camat.
Ayu hanya menelan ludah
dan mengangguk.
“Oh
… pembantu! Ambilkan air untuk kami!” Glekkkk
… anak camat dijadikan pesuruh.
“Baik,”
dengan muka kesal Ayu bangkit.
Ayu salah! Bukan dapur
yang ia dapatkan melainkan kamar besar dipenuhi poto yang membuatnya ingin
muntah. Segera ia keluar dan menuju dapur yang ternyata ada di sebelah kamar
tersebut.
“Silahkan.”
Ayu mempersilahkan teh yang dia ambil dari dapur sang tuan rumah.
Budi berkicau sendiri
dalam hatinya “Mati dah mati kita kalau
pak Camat tahu anak gadisnya di jadikan pembantu”.
Satu teguk … dua teguk …
tiga tegukan … Nyai Maha terlelap di hadapan Romi, Budi dan Ayu. Mereka bertiga
saling bertukar pandang berharap memiliki pemikiran sama.
∞∞∞∞∞
Romi, Budi dan Ayu
meninggalkan Nyai Maha yang sungguh menyebalkan dan segera menggeledah rumah
dengan desain kuno itu.
Mereka menemukan sebuah
buku berisikan daftar nama-nama yang nampaknya semua nama laki-laki.
Shit
… akhirnya Budi mengerti juga yang dimaksud
Romi tempo hari sebelum berangkat ke kampung ini.
Kampung ini dihuni oleh
para wanita dewasa, remaja, dan gadis-gadis kecil. Tidak ada laki-laki dewasa,
remaja maupun cah cilik.
Lalu bagaimana wanita di
kampung ini bergenerasi?
∞∞∞∞∞
Pada hari-hari tertentu
akan banyak para laki-laki kota bahkan asing mendatangi kampung ini untuk
semata pemuas nafsu lalu pergi begitu saja ketika hasrat sudah didapat. Para
wanita di kampung ini sengaja membiarkan kandungan mereka tetap tumbuh.
Jika anak yang mereka
lahirkan bayi laki-laki maka anak itu akan diambil oleh pria yang menidurinya setelah
Nyai Maha memberi kabar kepada mereka, namun jika yang dilahirkan bayi perempuan
maka akan tetap dibiarkan tumbuh disini meneruskan profesi Sang Ibu.
Begitulah fakta yang
Romi, Budi dan Ayu temukan setelah membaca sebuah buku berjudul ‘Dhayoh Tumbas Makutha’.
“Berita
ini pernah masuk koran harian.” Romi memulai percakapan.
“Namun
kembali padam dan kasus selesai,” timbal Ayu.
“Pasti
ada campur tangan penguasa!” Budi nimbrung, tumben nyambung.
Kecurigaan Romi benar.
Kampung ini terlibat kasus bisnis legal prostitusi dan Mahadri yang berkuasa,
dia bertindak sebagai pengendali di kampung ini. Bahkan Pak Camat pun dibuat
tidak berkutik olehnya.
keyword
cerpen cerbung cerita pendek cerita bersambung misteri kasus pencurian pembunuhan empat sekawan metode trik strategi pencurian maling kejahatan cerita seru humor jenaka lucu serius seram misteri misterius horor emosi ngakak njungkel kejedag mbrojol tak terduga plot twist ending ide menulis tulisan berseri berlanjut cerita sedih seram menegangkan horor komedi comedy thriller karangan berkelanjutan mengengangkan ngakak
No comments:
Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..