Case 2 : Dhayoh Tumbas Makutha - Syarif Miftahudin's Blog

Sunday, February 24, 2019

Case 2 : Dhayoh Tumbas Makutha



Hari ini matahari terik sekali namun dalam imajinasi Romi ia sedang berada di tengah taman yang menyegarkan. Padahal ia termenung di halte jalan.
“Bagaimana caranya?” Tiba-tiba ia bergumam sendiri.
Tanpa terasa petang menjelang, Romi akhirnya meninggalkan taman impiannya sambil cengar-cengir sendiri nampak sudah mendapatkan jawaban atas rencananya.
∞∞∞∞∞
Sepagi ini Romi berangkat hanya dengan menyelendangkan tas belel kesayangannya “Tas keberuntungan,” ia bilang. Sambil menepuk-nepuk tas yang sudah tidak jelas memiliki warna apa Romi berjalan penuh semangat.
Dari kejauhan terlihat Budi dengan bawaan seperti orang hendak berkemah membuat Romi kesal bukan kepalang.
“Aku telat! Emakku ribet mempersiapkan kepergian kita.”
“Kita tidak dalam perjalanan camping Bud!” Romi menepuk jidat sendiri sambil memandang ramsel besar dan karung beras bawaan Budi.
“Hei … kawan, Aku enggak mau ambil risiko kalau-kalau semasa menjalankan misi kita kelaparan.”
Romi nyengir saja sambil mendahului Budi yang ribet akan barang bawaannya.
“Rom tunggu ….” Budi berusaha berlari namun payah.
∞∞∞∞∞
Setelah melewati jalan yang tidak mudah ditempuh akhirnya Romi dan Budi sampai juga ditempat yang mereka tuju. Sebuah tempat yang asri, padi menguning di sepanjang jalan.
“Apa yang akan kita lakukan Rom?” Tanya Budi.
“Manen Bud! Jadi petani”
“Bisa hitam kulit ini.”
“Emang kulit kau putih, hah?”
“Coklat.”
“Lumayan buat camilan.”
∞∞∞∞∞
Mereka mengunjungi rumah salah satu warga Desa yang ternyata rumah Camat.
“Den Romi dan Den Budi bisa menginap disini, istirahatlah dulu! Besok pagi baru saya antar ke kampung yang ada di koran itu.”
“Siap laksanakan!” Budi berlagak bak anggota militer.
Jam 07.00 PM.
“Rom, apa Pak Camat punya anak gadis?”
“Memangnya mau apa kau ini?”
“Kita harus menjadikan team dan ikut ke kampung itu Rom”
Romi menatap Budi, mereka saling tatap dan mengkerutkan dahi masing-masing.
“Tumben kau benar, kita memang membutuhkan wanita sebagai pemancing”
Hidung Budi merekah, bukan itu maksudnya. Ah … mereka tidak memiliki pemikiran yang sama.
Seseorang mengetuk pintu kamar dari luar.
Romi bangkit dari duduknya dan membuka pintu lalu terpesona. Matanya tidak berkedip untuk sesaat sebelum Budi nimbrung dan membatalkan lagu romantis yang baru saja akan diputar di kepala Romi.
“Mas Romi sama Mas Budi di tunggu Bapak untuk makan malam bersama di ruang depan” Suara yang tegas untuk ukuran wajah yang begitu anggun.
“Laksanakan!” Budi memberi hormat, Romi menampolnya. Gadis di depan mereka tak acuh meninggalkan.
Suasana makan malam berubah menegangkan ketika gadis tadi yang ternyata anak Pak Camat mengacungkan pisau. Romi dan Budi saling pandang lagi, apa kali ini pemikiran mereka sama? Hanya Tuhan yang tahu sebelum keduanya kembali ke kamar dan bercerita.
“Cah Ayu … baiklah baiklah! Bapak mengizinkanmu ikut dengan Den Romi dan Den Budi”
Gadis itu tersenyum lalu menatap Romi dan Budi secara bergantingan. Yang di tatap malah bengong bagai mendapat angin segar.
“Saya menitipkan anak saya kepada kalian,” ucap Pak camat pada Romi dan Budi.
Bu camat yang duduk di sebelah Pak Camat mulai menyeka air matanya. Aihssss …. Budi ikut-ikutan mengeluarkan air mata, kelilipan kotoran cicak.
∞∞∞∞∞
Pagi ini Romi, Budi dan Ayu diantar Sopir keluarga Pak Camat pergi menuju kampung yang di tuju dengan menaiki mobil box terbuka.
Sesampainya disana Sopir yang ditugaskan Pak Camat undur diri.
“Den, maap saya tidak bisa antar sampai ke dalam.”
“Tidak usah khawatir pakdhe, kami akan baik-baik saja,” Ayu yang menjawab.
Kini hanya Romi, Budi dan Ayu. Mereka  mulai memasuki wilayah yang tidak seorangpun warga sekitar berani memasuki kampung tersebut.
Dilihatnya pemandangan yang normal para anak bermain dengan permainan tradisional. Mereka begitu ceria dan bahagia, gadis remaja tanggung yang menjemur pakaian, dan para wanita paruh baya sedang menumbuk padi. Hemm … Romi baru sadar bahwa sepanjang penglihatannya ia tidak melihat laki-laki dewasa maupun anak-anak.
Sadar akan kedatangan warga luar, para mata perempuan yang sedang beraktifitas tersebut memandangi mereka bertiga sampai seorang wanita kira-kira berusia 45 tahun menghampiri.
“Siapa kalian dan mau apa kemari?”
“Kami meminta anak gadis kau Ibu.” Romi angkat bicara.
“Berapa digit?”
“Sembilan,” jawab Budi yakin. Dalam hatinya mengingat-ingat sisa uang dalam saku yang bahkan tidak sampai 5 digit.
“Ikut denganku!”
Sepanjang mengikuti wanita tersebut yang akhirnya diketahui memiliki nama Mahadri atau lebih akrab disapa Nyai Maha semua mata warga memandang mereka. Satu diantaranya seorang gadis sekitar 15 tahun  menatap tajam.
Setibanya di rumah Nyai Maha mereka duduk di ruang kehormatan. Ruang kehormatan sendiri hanya terbuka untuk orang-orang yang hendak membeli, jelas Mahadri ketika mempersilahkan.
“Lalu untuk apa wanita ini kemari?” Menatap Ayu kasar.
“Dia pembantu kami.” Berani sekali Budi bicara seperti itu terhadap anak camat.
Ayu hanya menelan ludah dan mengangguk.
“Oh … pembantu! Ambilkan air untuk kami!” Glekkkk … anak camat dijadikan pesuruh.
“Baik,” dengan muka kesal Ayu bangkit.
Ayu salah! Bukan dapur yang ia dapatkan melainkan kamar besar dipenuhi poto yang membuatnya ingin muntah. Segera ia keluar dan menuju dapur yang ternyata ada di sebelah kamar tersebut.
“Silahkan.” Ayu mempersilahkan teh yang dia ambil dari dapur sang tuan rumah.
Budi berkicau sendiri dalam hatinya “Mati dah mati kita kalau pak Camat tahu anak gadisnya di jadikan pembantu”.
Satu teguk … dua teguk … tiga tegukan … Nyai Maha terlelap di hadapan Romi, Budi dan Ayu. Mereka bertiga saling bertukar pandang berharap memiliki pemikiran sama.
∞∞∞∞∞
Romi, Budi dan Ayu meninggalkan Nyai Maha yang sungguh menyebalkan dan segera menggeledah rumah dengan desain kuno itu.
Mereka menemukan sebuah buku berisikan daftar nama-nama yang nampaknya semua nama laki-laki.
Shit … akhirnya Budi mengerti juga yang dimaksud Romi tempo hari sebelum berangkat ke kampung ini.
Kampung ini dihuni oleh para wanita dewasa, remaja, dan gadis-gadis kecil. Tidak ada laki-laki dewasa, remaja maupun cah cilik.
Lalu bagaimana wanita di kampung ini bergenerasi?
∞∞∞∞∞
Pada hari-hari tertentu akan banyak para laki-laki kota bahkan asing mendatangi kampung ini untuk semata pemuas nafsu lalu pergi begitu saja ketika hasrat sudah didapat. Para wanita di kampung ini sengaja membiarkan kandungan mereka tetap tumbuh.
Jika anak yang mereka lahirkan bayi laki-laki maka anak itu akan diambil oleh pria yang menidurinya setelah Nyai Maha memberi kabar kepada mereka, namun jika yang dilahirkan bayi perempuan maka akan tetap dibiarkan tumbuh disini meneruskan profesi Sang Ibu.
Begitulah fakta yang Romi, Budi dan Ayu temukan setelah membaca sebuah buku berjudul ‘Dhayoh Tumbas Makutha’.
“Berita ini pernah masuk koran harian.” Romi memulai percakapan.
“Namun kembali padam dan kasus selesai,” timbal Ayu.
“Pasti ada campur tangan penguasa!” Budi nimbrung, tumben nyambung.
Kecurigaan Romi benar. Kampung ini terlibat kasus bisnis legal prostitusi dan Mahadri yang berkuasa, dia bertindak sebagai pengendali di kampung ini. Bahkan Pak Camat pun dibuat tidak berkutik olehnya.






keyword
cerpen cerbung cerita pendek cerita bersambung misteri kasus pencurian pembunuhan empat sekawan metode trik strategi pencurian maling kejahatan cerita seru humor jenaka lucu serius seram misteri misterius horor emosi ngakak njungkel kejedag mbrojol tak terduga plot twist ending ide menulis tulisan berseri berlanjut cerita sedih seram menegangkan horor komedi comedy thriller karangan berkelanjutan mengengangkan ngakak

No comments:

Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..