Sengaja dipasang lilin aroma terapi di meja dekat tempat tidurnya. Harum lilin aroma terapi membuat moodnya
semakin membaik. “Gara-gara bus saja semuanya gagal” gerutu dalam hati.
Andai saja papah tak menyuruhnya untuk antre panjang mengambil uang
kiriman bulanan di bank, tidak ada bus telat datang, dan handphone-nya
tidak tertinggal mungkin semuanya tidak akan gagal dan terjadi sia-sia
seperti ini.
Tatapannya mengarah ke meja dekat tempat tidurnya,
letak ponsel yang tertinggal sejak tadi. Diintipnya ponsel itu, ada lima
puluh panggilan tak terjawab dari seorang laki-laki yang jauh darinya.
Raca kekecewaannya semakin bertambah, rasa kangen ini semakin menderu,
dan unek-unek yang selama ini dipendam sendiripun harus semakin lama
dipendam sampai menumpuk jauh lebih banyak. Yah, mungkin harus menunggu
akhir pekan lagi untuk mendengarkan suara lembutnya.
“Adeline.. Ada telfon tuh. Cepet turun!” belum sempat
mengirim message, teriakan Mamah dari lantai bawah mengharuskan Adeline
untuk turun. Bingar wajahnya pun merekah saat mendengar kata “Ada
Telfon”. Yap, itu pasti dari seseorang yang dari tadi berputar pada
otaknya. Seseorang yang dia amat sangat sayangi.
“Chubby! Kemana aja lo? Handphone-nya gak aktif. Email
juga gak aktif.” Tebakannya tidak salah, itu benar Kenan. Laki-laki
pujaannya yang sekarang menelfonnya.
“ah lo tuh jangan marah-marah dulu, gue bisa jelasin
semuanya, jelek.” Jawab Adeline. Semuanya langsung ia ceritakan kepada
Kenan tanpa pikir panjang. Unek-unek dan rasa kangennya melebur dengan
nasehat dan banyolan Kenan. Walau mungkin kasih sayang itu hanya sekedar kasih sayang seorang sahabat.
Sejak kecil mereka berdua bersahabat. Berbagi dalam
suka dan duka. Saling menjaga hati, walau Adeline-lah yang sering
menjaga hati ketika dia tahu Kenan sedang dekat dengan wanita lain.
Bagaimana tidak, Kenan lelaki berbadan tinggi tegap, mancung, kuliah di
universitas terkenal di Paris dan memiliki senyum indah ini sangat mudah
untuk dapat memikat setiap kaum hawa. Tapi bukan itu alasan Adeline
mencintainya, itu karena hati yang memaksa.
Dan hanya Adeline saja yang dari dulu setia bertahan dalam status mencintai, bukan pacar. Dari dulu dirinya menunggu kata “je t’aime”
dari mulut Kenan, katanya sih tak etis jika seorang wanita mendahului.
Namun semua itu hanya khayalan belaka, tak mungkin Kenan mencintainya.
Adeline selalu sadar diri.
“hari ini gue udah di Pekalongan.” Ujar Kenan. Mata Adeline langsung membelalak, seakan tak percaya.
“Serius? Lo bakalan mampir ke rumah gue kan?” tanyanya bersemangat.
“iya serius. Enggak!” jawab Kenan menggantung. “buat
apa sih gue balik ke Pekalongan kalau gak mampir ke rumah lo! Lagian gue
tadi mau mampir ke rumah lo tapi telfon gue gak diangkat sih takutnya
lo ga di rumah.“ sambung Kenan.
“hihihihi. Ya maaf, kan gue udah jelasin. Yaudah gue
tunggu nanti sore di tempat biasa.” jawab Adeline sekaligus mengakhiri
panggilan yang sudah ditunggunya sejak seminggu lalu.
***
Jembatan ini kenangan kebahagiaan Adeline bersama Kenan semasa kecil sekaligus tempat yang sering dikunjunginya with or without
Kenan. Sepanjang jembatan ini tertuliskan perasaan-perasaan Adeline
selama ini, berharap tulisan-tulisan perasaannya akan dibaca oleh Kenan.
Namun sikap Kenan yang kadang cuek membuatnya berpikir dua kali untuk
berharap. Andai waktu bisa berputar seperti dulu, bukan sekarang adanya
jarak sebagai penghalang untuk bertemu. Ingin rasanya mengatakan apa
yang dulu ia ingin katakan tak usah percaya dengan statement bodoh yang mengharuskan wanita untuk lama menunggu sebuah kepastian yang tak pasti!
Matanya tersenyum sipit ketika melihat gambar hati di tengah-tengah namanya dan nama Kenan. cintanya itu awet bukan buat dolanan,
bertahan bertahun-tahun seperti gambar hatinya. Karena cinta itu bukan
jarak yang dapat memisahkan segalanya. Mungkin karena mencintainya itu
tanpa alasan atau paksaan maka Adeline akan tetap bertahan dengan semua
yang serba jauh ini.
Dilirik jam tangan di pergelangan tangannya, sudah
pukul enam sore. namun sampai saat ini tak nampak sosok Kenan yang telah
ditunggu kehadirannya di sepanjang Brug Dowo ini, padahal Kenan
berjanji akan datang sejam yang lalu. Dari dulu tak pernah berubah,
selalu saja ngaret.
Padahal cuaca disini mulai mendung, semendung hati Adeline.
dinginnya hembusan angin barat mulai muncul ketika senja menghilang.
Pemandangan awan merah di atas Gunung Slamet sebelah utara Brug Dowo ini
juga mulai samar. Suasana semakin sepi ketika mentari mulai lelah untuk
menyinari Brug Dowo. Dan terjadilah rindu yang terabaikan dalam redup
senja.
“Dimana Kenan?!” tanya Adeline berkali-kali. Sosok
Kenan yang suka membuat kejutan itu belum hadir juga. Sudah beberapa
kali dirinya keliling di sekitar brug dowo tapi tak ada sosok Kenan. Di
balik batu besar yang terletak di Kali Sengkarang bawah Brug Dowo tempat
kesukaan Kenan pun tak ada.
Dinginnya hembusan angin barat semakin menusuk membuat sweather dan
syal di badannya tak dapat melindungi dirinya. Ditambah dengan petir
yang membaha dan gerimis hujan membuat tubuhnya menggigil. Nafasnya
mulai sesak dengan keadaan dingin seperti ini. tangannya pun terus
mengorek-ngorek isi tas kecil yang selalu dibawanya, MANA OBAT?!! Obat
yang selalu dibawa karena penyakit yang tak kunjung sembuhnya lupa
dibawa. Padahal obat itu taruhan nyawanya ketika udara dingin masuk ke
dalam paru-parunya.
Sudah pukul tujuh malam. hujan semakin deras, tubuhnya
pun semakin membeku, wajahnya semakin pucat, kakinya semakin berat untuk
memopong tubuhnya ketempat yang teduh. Tak ada satu orangpun yang
melintas di jembatan ini. cengkraman tangan kanan tepat di paru-parunya
tak dapat meredakan sakit yang luar biasa. Nafasnya mulai sesak, denyut
jantungnya tak beraturan, dadanya terasa sempit, kulit kuning langsatnya
pun berubah menjadi kebiruan. Hanya satu alasan Adeline bertahan, itu
karena Kenan.
“Adeline. Maaf ak...” suara seorang laki-laki yang dari
tadi ditunggunya terdengar dari kejauhan. Belum selesai Kenan
berbicara, tangan kirinya yang dari tadi memegang besi jembatan pun tak
dapat menahan dinginnya besi, kakinya sudah tak kuasa lagi untuk
berdiri. Pandangan Adeline mulai kabur, raut wajah Kenan yang memegang
sekuntum mawar semakin hilang dalam pandangannya. Seketika semuanya
gelap, hampa, Kosong...
***
Air mata Kenan terus jatuh di telapak tangan Adeline
yang dari tadi dipegangnya, air wajahnya terlihat sangat kecewa. Rasa
kekecewaannya semakin memuncak ketika mengetahui Adeline mempunyai
penyakit Pneumotoraks, penyakit paru-paru yang dapat merenggut nyawa
seseorang kapan saja. Penyakit yang datang karena penyakit asma yang
sudah terlalu lama dipendamnya ternyata menjadi petaka. Satu alasan
Adeline memendam semua ini, ini semua demi Kenan. Dia tak mau melihat
sahabat kecilnya meneteskan air mata kesedihan karena dirinya. Adeline
hanya ingin tetesan air mata Kenan itu air mata kebahagiaan, Adeline tak
pernah peduli saat tetesan air mata kebahagiaan terjadi ketika dirinya
harus menghembuskan nafas terakhirnya.
“Line gak sakit kan?! kamu sehat kan?! Dokter pasti
bohong deh sama aku. Buktinya setiap aku telfon kamu selalu ceria,
selalu kuat!! Del… maafin aku.” gumam Kenan dalam tangis kesedihannya.
Kelopak mata Adeline perlahan membuka. Pandangannya
masih kabur, dilihatnya sekeliling ruangan yang pasti bukan rumahnya.
Sekeliling ruangan ini serba putih, tangan kanannya sekarang bersarang
infuse, tubuhnya kini terbaring lemah ditutupi selimut hangat dan
genggaman tangan seseorang. Sekarang dia sedang di rumah sakit, tempat
kunjungannya ketika penyakitnya kambuh. Pandangannya yang samar-samar
melihat sosok lelaki yang terus menangis di sampingnya. Sosok lelaki
yang di tunggunya berjam-jam.
“Kenan. gue dimana? Kenapa lo sedih gitu?” Tanya lirih Adeline sembari menahan rasa sakitnya.
“Deline akhirnya kamu sadar juga” kejut Kenan, “kamu sekarang di rumah sakit. kamu udah baikan kan?”
Tanya Kenan. kamu?
Kenan memanggil Adeline dengan panggilan formal layaknya sepasang
kekasih yang saling menghormati. Seumur hidupnya, Adeline baru kali ini
berbicara aku-kamu atau mungkin ini sebuah kode? Hah tak
mungkin, Kadang memang Kenan suka memberinya kejutan. Ini hanya sebuah
kejutannya, tidak lebih.
“iya santai aja sih. Muka lo kenapa ditekuk gitu?” Tanya Adeline heran.
“malah tanya kenapa, ini karena kamu!”
“loh kok gue?”
“iya lah kamu! Aku tinggal sebentar beli bunga pas
didatengin udah pingsan ngeselin abis deh.” “Udah gitu pakek punya
penyakit, kenapa kamu gak pernah jujur sih sama aku?” kali ini tatapan
mata Kenan penuh tanya sampai kedua alisnya hampir bertemu. Mulut
Adeline rasanya sudah di lakban tertutup rapat tak bersuara. Dia bingung
harus menjawab apa, apa dia harus jujur kalau dirinya takut melihat
Kenan larut dalam kesedihan atau dia harus jujur dengan perasaannya
sekarang, perasaan yang amat sangat mendalam. Otaknya bekerja keras
untuk memilih jawaban-jawaban yang melingkari fikirannya sampai otaknya
penuh kepulan asap kebingungan, namun tak ada satupun jawaban yang pas
untuk menjawab petanyaan Kenan. lebih baik menjawab soal fisika daripada
menjawab pertanyaan Kenan ini.
Tatapan mata Kenan semakin bertanya membuat Adeline semakin lemah untuk menjawab. Air wajahnya terlihat sangat gelisah.
“Adeline Fiananda, aku gak suka kalau kamu rahasiain
ini apalagi tentang penyakitmu yang parah ini. Kamu rela liat aku nangis
karena kamu udah gak ada di sisi aku lagi? Aku gak mau kehilangan kamu
Line.” Ujar Kenan serius memecah kepulan asap di atas kepala Adeline.
“hahaha apa sih sok romantic deh. Lagian masa kamu telat berjam-jam cuman buat beli bunga sih.” Jawab Adeline bersikap biasa saja.
“aku tadi ke rumah eyang nganterin kue eh disuruh
mampir sebentar terus jalanan macet chubby!” Ujar Kenan memperjelas
seakan mengunci mulut Adeline. Kali ini tatapan mata Kenan berbeda.
Jantung Adeline tiba-tiba berdetak dengan cepat. Suasana pun menjadi
hening, hanya ada empat mata yang saling beradu menatap. Tak mengerti
tatapan mata Kenan membuatnya tak dapat beralih. Dari tatapan itu
Adeline mengerti bahwa Kenan akan mengatakan sesuatu yang tak biasa.
“je t’aime, Adeline. Will you be my girlfriend?” ujar
Kenan memecah keheningan. mata Adeline membelalak tak percaya sosok
Kenan yang selama ini bersikap dingin sekarang berubah menjadi hangat.
Jantungnya pun semakin berdetak cepat tak beraturan, peluhnya semakin
deras, dirinya terus mencubit dan menampar pipinya yang sekarang merah
merona, bukan kesakitan namun kebahagiaan yang telah membuktikan
mimpinya selama ini menjadi kenyataan.
“Kenan kamu bodoh! Kamu mencintai gadis yang sekarat
seperti aku.” Kebahagiaan itu seketika sirna. Adeline harus ingat dia
hanya akan menyakiti perasaan Kenan jika menerima Kenan menjadi lelaki
masa depannya. Kenan itu lelaki perfect, lebih banyak wanita cantik
lainnya dengan masa depan indah yang lebih tepat bersanding dengan Kenan
bukan dengan dirinya yang akan membawakan goresan luka.
“Dengan atau tanpa umur kamu yang mungkin lebih pendek
dari orang lain, kamu adalah cinta pertama dan terakhirku, dengan penuh
kesadaran tanpa tekanan apapun aku menginginkan itu dan memutuskan kamu
adalah satu-satunya cinta dalam hidup aku.” Jawab Kenan serius,
tatapannya tak beralih menatap dua bola mata indah Adeline, membuat
Adeline semakin hanyut dalam perkataanya, namun ia masih tetap saja
dalam kebisuan.
“bukannya ungkapan ini yang selalu kamu tunggu dari mulut aku? Ungkapan yang kamu tulis di sepanjang jembatan cintamu? je t’aime, line.” ujar ulang Kenan penuh harapan.
Mungkin benar kata Kenan. Dirinya tak boleh terus
menyembunyikan perasaannya. Dengan adanya Kenan yang berstatus seorang
kekasih, mungkin setiap sisa hidupnya akan lebih indah. Walau
keindahannya harus terhalang oleh jarak, yang pasti sejauh apapun jarak
yang memisahkan dan waktu yang mengalangi tak akan berarti jika saling
percaya dan menjaga.
Adeline menganggukan kepala penuh pasti menjawab
pernyataan cinta Kenan. Mereka berdua tersenyum bahagia. Tangan indah
Adeline yang sejak tadi dipegang Kenanpun langsung dikecup hangat
sebagai bentuk kesetiaan.
Sekarang mimpi-mimpi keputusasaan-nya sirna oleh masa
depan yang indah bersama Kenan. tak harus memikirkan sampai kapan
nafasnya akan berhenti karena dunia menyimpan rahasia, dia tak akan
membocorkan waktu perpisahan ketika pertemuan telah terancang dengan
sempurna. Yang terpenting kata je t’aime dari mulut mereka berdua akan tetap dan tak akan pernah sirna. je t’aime.
***
No comments:
Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..