Case 7 : Gray and Green - Syarif Miftahudin's Blog

Sunday, September 22, 2019

Case 7 : Gray and Green

Hari ini terik sekali. Romi melaju di jalanan Ibu Kota dengan mogenya.
Dalam perjalanannya menuju café yang telah di tunggu Budi, Ina dan Indah Romi mengamati seorang pengemis cilik berpeluh keringat di dahinya. Melihat pemandangan seperti ini Romi menelan air liurnya sendiri, haus.
Kebetulan rambu sedang lampu merah, Romi bisa mengamati anak disebrang sana dengan cukup lama. Bocah perempuan kira-kira usia 7 tahun yang seharunya mengeyam pendidikan namun malah menjadi anak jalanan yang meminta-minta. Betapa rugi waktu yang telah dia buang.

∞∞∞∞∞
Romi tiba di café corner, disana telah ada Budi, Ina dan Indah.
Sorry telat.” Romi menyapa ketiga temannya yang telah menunggu.
“Santai dud!” Sahut Indah.
Romi mengambil posisi duduk dan meneguk lemon tea Budi, “Tadi gua lihat pengemis jalanan.”
“Yaelah … seperti baru pertama lihat saja. Ini Ibu kota Rom segala macam hal dari pengemis hingga koruptor ada disini.”  Terang Budi yang akhir-akhir ini sudah tidak lemot lagi.
“Iya gua tahu. Tapi bukan itu maksudnya, akhir-akhir ini gua kepikiran aja untuk mencari tahu penyebab mereka mengemis.“
“Cari duitlah mereka,” sambung Indah.
Romi menggaruk kepalanya yang tidak gatal hendak mencari kalimat yang pas untuk memulai topik pembicaraan.
“Maksud gua gini, kita kan sedang tidak menjalankan misi apapun. Apa kalian enggak jenuh dengan rutinitas normal seperti ini? Sudah lama sekali kita beku dan malah menghabiskan waktu di café-café nongkrong unfaedah.”
Ina menatap Romi manja, mulai mengerti kemana arah pembicaraan Romi.
“Romi benar, akhir-akhir ini kita seperti menjelma menjadi kaula muda statis.”
“Jadi, apa rencanamu Rom?” Tanya Indah.
“Tidak ada … gua hanya mau berkenalan lebih jauh dengan para pengemis cilik itu.”
“Sebetulnya mereka bisa diarahkan bila mendapat dukungan dari lingkungan, keluarga misalnya.”
“Dukungan melanjutkan pendidikan adalah nomor sekian Rom. Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada andil orang tua dalam tumpahnya pengemis cilik di jalanan.” Tutur Budi yang semakin mengalami kemajuan.
Well … ini sudah menjadi rahasia umum, para bocah dipaksa mengemis oleh orang tuanya sendiri bahkan dijadikan alat untuk mengundang empati orang lain.” Indah menambahkan.
“Belum lagi peran serta preman. Siapa yang tidak tahu jika di wilayah tertentu setiap pengemis wajib setor pada preman penguasa di tempat tersebut, kasihan sekali mereka tidak seberuntung kita,”  sambung Indah sembari mengaduk-aduk green tea latte yang tinggal setengah gelas.
“Itu dia … apa tidak seharusnya kita melakukan sesuatu?” Pertanyaan Romi serupa pernyataan.
∞∞∞∞∞
Selesai lunch mereka berencana mengunjungi Perpustakaan Daerah untuk sekadar merefresh otak.
Tepat ketika keluar mall seseorang menubruk Ina hingga terjatuh.
“Kamu  tak apa Ina?” Tanya Indah.
Fine …
Tanpa rasa bersalah bocah yang menubruk Ina tidak menoreh sedikitpun, ia justru  berlari menghindar pengejar sekuat tenaga.
Dari belakang terdengar riuh berteriak “copet … copet … copet…”
Tanpa pikir panjang Indah menaburkan serbuk pelican sehingga para pengejar berjatuhan dan mereka berempat berlari mengejar anak kecil itu.
Kemajuan yang cukup signifikan seperti telah bisa berbicara bahasa latin mereka satu pemikiran untuk mengejar bocah yang membawa kabur sebuah tas branded ungu.
Yang di kejar hilang dari pandangan. Romi, Budi, Ina dan Indah mengedarkan pandangannya disekitar. Ini perkampungan kumuh pinggiran Ibu Kota.
Guys … lihat!” Indah menunjuk arah jam 3.
Anak kecil itu masuk ke sebuah rumah kardus. Romi DKK mendekat pelan-pelan.
“Mak, ini abang ada uang untuk menebus adik dari preman sebelum adik di jual.”
“Dari mana kau dapatkan uang ini?”
“Aku menemukannya di tong sampah. Mungkin orang kaya yang telah membuangnya karena kebanyakan uang.”
“Aih … bodoh sekali alasannya”, umpat Budi dalam hati “Mana ada orang buang uang, orang buang sial banyak.”
Romi, Budi, Ina  dan Indah saling tatap ketika anak itu keluar.
“Kau pencuri!” Indah menuding.
“Apa urusan kau?”
“Kembalikan tas itu pada pemiliknya!” Pinta Romi dengan muka datar.
“Tidak!”
Anak itu pergi menjauh dari rumanya dibuntuti Romi DKK.
“Kedatangan kalian kesini bisa membunuh Ibuku.”
“Kau lah yang akan membunuh Ibumu jika dia tahu kau sudah mencuri.”
“Kalian tidak tahu apa-apa. Pergi!”
“Kita akan membantumu,” Indah berkata mantap.
“Halah … orang-orang kaya seperti kalian mana peduli dengan kami yang hidup sengsara, bagi kalian kami adalah virus yang harus dijauhi.”
Mereka bernegosiasi. Akhirnya dengan jurus jitu Budi si anak yang diketahui bernama Gray ini setuju menyerahkan tas itu kepada pemilikinya memalui Indah dan Ina. Maka detik itu juga Indah dan Ina kembali ke café tadi dan menyerahkan tas berisi gepokan uang itu pada security.
Sedangkan Romi, Budi dan Gray merencanakan bagaimana caranya masuk ke markas besar bang Anton si preman yang telah menculik adiknya.
Menilik kebelakang ternyata Gray sudah tidak setor beberapa minggu karena uang hasil ngamennya dipergunakan untuk pengobatan sang Ibu. Jadilah si Anton membabi buta dan menculik adiknya yang bernama Green.
Dia mengancam akan menjual Green keluar negeri kalau tidak bisa memberi uang sebesar  5 juta bagaimanapun caranya. Usul mencuri juga datang dari Anton.
∞∞∞∞∞
Sekitar pukul 05.00 PM Romi DKK sudah bergerak menuju markas besar Anton.
Gudang kuno tidak terawat yang dijadikan sebagai markas preman-preman wilayah ini. Terlihat para preman berotot yang bermain catur di depan pintu masuk, salah satunya adalah si ketua gengs Anton. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil sesekali meneguk minuman dalam botol.
Dari kejauhan Romi DKK siap beraksi.
“Karen Gillan siap beraksi … santai saja,” Ina mulai memasuki kawasan.
Melihat kedatangan wanita secantik Ina para preman itu terpesona.
“Apa yang kau lakukan disini Nona?” Tanya salah satu preman.
“Menemani abang main catur. Boleh?” Iuh …. Menjijikan sekali jika melihat ekspresi Ina, sungguh totalitas.
Para preman bodoh ini larut dalam gelak tawa bersama Ina, tidak menyadari bahwa Ina telah memasukan racun yang akan membuat mereka mulas dalam beberapa detik lagi.
Ups … semua berlarian saling mendahului untuk sampai ke toilet, meninggalkan Ina yang tertawa puas.
Guys … come on!
Bagai di komando Romi, Budi, Indah dan Gray segera menghampiri dan masuk ke markas.
Para preman yang menyadari kehadiran mereka hendak melawan namun apalah daya saat ini mereka tidak bisa berbuat apa-apa, jangankan menonjok dengan otot besarnya melangkah saja sudah sangat payah.
“Green …” Gray mencoba memanggil adiknya.
“Green ... Green …” yang lain mengikuti sambil membuka setiap pintu yang tergembok.
Salah satu preman cukup kuat ternyata, ia mengesampingkan rasa mulesnya dengan terus berusaha melawan. Indah dan Romi maju paling depan untuk menghadang preman ini, sedangkan Budi, Ina dan Gray terus mencari Green.
Disaat sudah hampir putus asa karena tidak jua menemukan Green, suara lirih terdengar “Tolong ….”
Gray, Budi dan Ina segera menghampiri sumber suara. Mereka mendobrak pintu yang tergembok baja. Setelah pintu terbuka belasan anak berhamburan keluar lantas memeluk Ina, Budi dan Gray.
“Green kamu tidak apa-apa?” Tanya Gray sambil memeluk adiknya.
“Tidak kak. Untung kakak tepat waktu, malam ini kami akan di jual ke luar negeri.”
Para preman berhasil di lumpuhkan, Romi DKK, Gray dan belasan pengamen cilik berhasil melarikan diri.
∞∞∞∞∞
Semenjak kejadian itu Romi DKK akhirnya mendirikan sebuah sekolah terbuka bagi anak-anak jalanan dan sedikit mengubah mind set mereka untuk tidak lagi mengamen agar tidak bergantung nasib dari belas kasihan tangan orang lain. Romi DKK mendampingi mereka untuk berwirausaha kreatif.
Ingatkah dengan pengamen cilik yang Romi liat beberapa hari lalu saat lampu merah? Dialah Green.

3 comments:

a said...

jare wis ra ngeblog

Prastowo said...

jare ra ngeblog

Admin said...

@a @Prastowo

Punten slurr https://prntscr.com/pftyrh

Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..