Hari ini terik sekali.
Romi melaju di jalanan Ibu Kota dengan mogenya.
Dalam perjalanannya
menuju café yang telah di tunggu Budi, Ina dan Indah Romi mengamati seorang pengemis
cilik berpeluh keringat di dahinya. Melihat pemandangan seperti ini Romi
menelan air liurnya sendiri, haus.
Kebetulan rambu sedang lampu
merah, Romi bisa mengamati anak disebrang sana dengan cukup lama. Bocah
perempuan kira-kira usia 7 tahun yang seharunya mengeyam pendidikan namun malah
menjadi anak jalanan yang meminta-minta. Betapa rugi waktu yang telah dia
buang.
∞∞∞∞∞
Romi tiba di café corner,
disana telah ada Budi, Ina dan Indah.
“Sorry telat.” Romi menyapa ketiga temannya yang telah menunggu.
“Santai dud!” Sahut Indah.
Romi mengambil posisi
duduk dan meneguk lemon tea Budi, “Tadi gua lihat pengemis jalanan.”
“Yaelah … seperti baru
pertama lihat saja. Ini Ibu kota Rom segala macam hal dari pengemis hingga
koruptor ada disini.” Terang Budi yang
akhir-akhir ini sudah tidak lemot lagi.
“Iya gua tahu. Tapi bukan
itu maksudnya, akhir-akhir ini gua kepikiran aja untuk mencari tahu penyebab
mereka mengemis.“
“Cari duitlah mereka,”
sambung Indah.
Romi menggaruk kepalanya
yang tidak gatal hendak mencari kalimat yang pas untuk memulai topik
pembicaraan.
“Maksud gua gini, kita
kan sedang tidak menjalankan misi apapun. Apa kalian enggak jenuh dengan
rutinitas normal seperti ini? Sudah lama sekali kita beku dan malah
menghabiskan waktu di café-café nongkrong unfaedah.”
Ina menatap Romi manja,
mulai mengerti kemana arah pembicaraan Romi.
“Romi benar, akhir-akhir
ini kita seperti menjelma menjadi kaula muda statis.”
“Jadi, apa rencanamu
Rom?” Tanya Indah.
“Tidak ada … gua hanya
mau berkenalan lebih jauh dengan para pengemis cilik itu.”
“Sebetulnya mereka bisa
diarahkan bila mendapat dukungan dari lingkungan, keluarga misalnya.”
“Dukungan melanjutkan
pendidikan adalah nomor sekian Rom. Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada
andil orang tua dalam tumpahnya pengemis cilik di jalanan.” Tutur Budi yang
semakin mengalami kemajuan.
“Well … ini sudah menjadi rahasia umum, para bocah dipaksa mengemis
oleh orang tuanya sendiri bahkan dijadikan alat untuk mengundang empati orang
lain.” Indah menambahkan.
“Belum lagi peran serta
preman. Siapa yang tidak tahu jika di wilayah tertentu setiap pengemis wajib
setor pada preman penguasa di tempat tersebut, kasihan sekali mereka tidak
seberuntung kita,” sambung Indah sembari
mengaduk-aduk green tea latte yang tinggal setengah gelas.
“Itu dia … apa tidak
seharusnya kita melakukan sesuatu?” Pertanyaan Romi serupa pernyataan.
∞∞∞∞∞
Selesai lunch mereka berencana mengunjungi
Perpustakaan Daerah untuk sekadar merefresh otak.
Tepat ketika keluar mall
seseorang menubruk Ina hingga terjatuh.
“Kamu tak apa Ina?” Tanya Indah.
“Fine …”
Tanpa rasa bersalah bocah
yang menubruk Ina tidak menoreh sedikitpun, ia justru berlari menghindar pengejar sekuat tenaga.
Dari belakang terdengar
riuh berteriak “copet … copet … copet…”
Tanpa pikir panjang Indah
menaburkan serbuk pelican sehingga para pengejar berjatuhan dan mereka berempat
berlari mengejar anak kecil itu.
Kemajuan yang cukup
signifikan seperti telah bisa berbicara bahasa latin mereka satu pemikiran
untuk mengejar bocah yang membawa kabur sebuah tas branded ungu.
Yang di kejar hilang dari
pandangan. Romi, Budi, Ina dan Indah mengedarkan pandangannya disekitar. Ini
perkampungan kumuh pinggiran Ibu Kota.
“Guys … lihat!” Indah menunjuk arah jam 3.
Anak kecil itu masuk ke
sebuah rumah kardus. Romi DKK mendekat pelan-pelan.
“Mak, ini abang ada uang
untuk menebus adik dari preman sebelum adik di jual.”
“Dari mana kau dapatkan
uang ini?”
“Aku menemukannya di tong
sampah. Mungkin orang kaya yang telah membuangnya karena kebanyakan uang.”
“Aih
… bodoh sekali alasannya”, umpat Budi dalam hati “Mana ada orang buang uang, orang buang sial
banyak.”
Romi, Budi, Ina dan Indah saling tatap ketika anak itu
keluar.
“Kau pencuri!” Indah
menuding.
“Apa urusan kau?”
“Kembalikan tas itu pada
pemiliknya!” Pinta Romi dengan muka datar.
“Tidak!”
Anak itu pergi menjauh
dari rumanya dibuntuti Romi DKK.
“Kedatangan kalian kesini
bisa membunuh Ibuku.”
“Kau lah yang akan
membunuh Ibumu jika dia tahu kau sudah mencuri.”
“Kalian tidak tahu
apa-apa. Pergi!”
“Kita akan membantumu,”
Indah berkata mantap.
“Halah … orang-orang kaya
seperti kalian mana peduli dengan kami yang hidup sengsara, bagi kalian kami adalah
virus yang harus dijauhi.”
Mereka bernegosiasi. Akhirnya
dengan jurus jitu Budi si anak yang diketahui bernama Gray ini setuju
menyerahkan tas itu kepada pemilikinya memalui Indah dan Ina. Maka detik itu
juga Indah dan Ina kembali ke café tadi dan menyerahkan tas berisi gepokan uang
itu pada security.
Sedangkan Romi, Budi dan Gray
merencanakan bagaimana caranya masuk ke markas besar bang Anton si preman yang
telah menculik adiknya.
Menilik kebelakang ternyata
Gray sudah tidak setor beberapa minggu karena uang hasil ngamennya dipergunakan
untuk pengobatan sang Ibu. Jadilah si Anton membabi buta dan menculik adiknya
yang bernama Green.
Dia mengancam akan
menjual Green keluar negeri kalau tidak bisa memberi uang sebesar 5 juta bagaimanapun caranya. Usul mencuri
juga datang dari Anton.
∞∞∞∞∞
Sekitar pukul 05.00 PM
Romi DKK sudah bergerak menuju markas besar Anton.
Gudang kuno tidak terawat
yang dijadikan sebagai markas preman-preman wilayah ini. Terlihat para preman
berotot yang bermain catur di depan pintu masuk, salah satunya adalah si ketua
gengs Anton. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil sesekali meneguk minuman
dalam botol.
Dari kejauhan Romi DKK
siap beraksi.
“Karen Gillan siap
beraksi … santai saja,” Ina mulai memasuki kawasan.
Melihat kedatangan wanita
secantik Ina para preman itu terpesona.
“Apa yang kau lakukan
disini Nona?” Tanya salah satu preman.
“Menemani abang main
catur. Boleh?” Iuh …. Menjijikan sekali jika melihat ekspresi Ina, sungguh
totalitas.
Para preman bodoh ini
larut dalam gelak tawa bersama Ina, tidak menyadari bahwa Ina telah memasukan racun
yang akan membuat mereka mulas dalam beberapa detik lagi.
Ups
… semua berlarian saling mendahului untuk
sampai ke toilet, meninggalkan Ina yang tertawa puas.
“Guys … come on!”
Bagai di komando Romi,
Budi, Indah dan Gray segera menghampiri dan masuk ke markas.
Para preman yang
menyadari kehadiran mereka hendak melawan namun apalah daya saat ini mereka
tidak bisa berbuat apa-apa, jangankan menonjok dengan otot besarnya melangkah
saja sudah sangat payah.
“Green …” Gray mencoba
memanggil adiknya.
“Green ... Green …” yang
lain mengikuti sambil membuka setiap pintu yang tergembok.
Salah satu preman cukup
kuat ternyata, ia mengesampingkan rasa mulesnya dengan terus berusaha melawan.
Indah dan Romi maju paling depan untuk menghadang preman ini, sedangkan Budi,
Ina dan Gray terus mencari Green.
Disaat sudah hampir putus
asa karena tidak jua menemukan Green, suara lirih terdengar “Tolong ….”
Gray, Budi dan Ina segera
menghampiri sumber suara. Mereka mendobrak pintu yang tergembok baja. Setelah
pintu terbuka belasan anak berhamburan keluar lantas memeluk Ina, Budi dan Gray.
“Green kamu tidak
apa-apa?” Tanya Gray sambil memeluk adiknya.
“Tidak kak. Untung kakak
tepat waktu, malam ini kami akan di jual ke luar negeri.”
Para preman berhasil di
lumpuhkan, Romi DKK, Gray dan belasan pengamen cilik berhasil melarikan diri.
∞∞∞∞∞
Semenjak kejadian itu
Romi DKK akhirnya mendirikan sebuah sekolah terbuka bagi anak-anak jalanan dan
sedikit mengubah mind set mereka
untuk tidak lagi mengamen agar tidak bergantung nasib dari belas kasihan tangan
orang lain. Romi DKK mendampingi mereka untuk berwirausaha kreatif.
Ingatkah dengan pengamen
cilik yang Romi liat beberapa hari lalu saat lampu merah? Dialah Green.
3 comments:
jare wis ra ngeblog
jare ra ngeblog
@a @Prastowo
Punten slurr https://prntscr.com/pftyrh
Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..