Sebelumnya saya minta maaf kalau cerpen buatan saya tak bagus dan kurang Gregett... maklum newbie..
Kalau mau CoPas silahkan, tapi sertakan nama pembuatnya..
“Wah… liburan tinggal menghitung hari…”
Liburan kali ini bakalan Woww… bangetlah pokoknya, karena liburan kali ini bakalan ke BALI.!!!
Gianyar, Desember 2010
Akhirnya sampai di Pelabuhan Gili Manuk. Tujuan pertama ke Tanah Lot, mumpung momentnya lagi pas sore-sore jadi bisa sekalian lihat sunset. Pas mau ke tepi pantainya, belum juga sampai tapi udah bisa kerasa, gemuruh ombaknya…
Saking asyiknya ngerasain suasana pantai, sampai gak sadar keadaan kanan kiri,
“Bregg…”
Aku langsung kaget, tanpa sadar aku nabrak seorang cewek, cantik sihh…
wajahnya oriental, kayaknya wajah-wajah jepang nih..terus aku nyapa.
“Konichiwa..”
“Konichiwa… Hom swastiastu…”
“Hom swastiastu…” jawabku.
Lalu si cewek itu menyodorkan tangan dan memperkenalkan dirinya.
“Lian… salam kenal ya..”
“A..aa..ku… Arrr…kaa..nnaa…”
“Oh, Arkana. Kok ngomongnya agak belibet kayak gitu.?
“Oh, sorry gagap, maklum baru kali ini ada cewek yang kenalan sama aku, biasanya kebalik..”
“Oh, gitu..kita jalan bareng-bareng yuk…”
Terus aku sama Lian sepanjang sore bersama dan menikmati sunset bareng-bareng.
Setelah selesai, aku dan Lian pulang bareng, kebetulan rumah Lian deket
ama Hotel Nirmala, hotel dimana aku akan menginap.
Esoknya aku jogging di sekitar hotel, terus sama
modus aku sampe di depan rumah Lian, berharap Lian lihat aku dan ngajak
kedalam. Dia lihat aku, terus ngajak aku masuk.
“Ehh… ada Arkana… masuk Ka..”
“Ehh… iya…. Ohayo..”
“Ohayo…”
Aku sempet tercengang pas mau masuk ke rumah Lian, habis gapuranya besar
banget… disana ada ayah Lian yang sedang duduk di teras depan rumahnya,
terus aku dikenalin sama ayahnya. Disini aku harus nahan ketawa tingkat
dewa,
“Kana… ini ayah aku…. Namanya I Ketut Gedde Manuke”
Ini yang bikin aku nahan tawa, pasalnya kalau di bahasa jawa artinya lain, sambil nahan tawa aku balesin,
“Emmmm… iya… Arkana om…”
“Oh, ini Arkana, temen baru kamu yang kamu ceritain tadi malem.”
“Iya yah…”
“Hhehee…” aku ketawa tipis.
Dalam hatiku bertanya, hah?Aku diceritain Lian ke ayahnya? Biasanya kalo
udah diceritain ke ortu itu biasanya spesial, apa mungkin aku spesial
buat Lian? Ahh..whatever lah ya…
“Yah, aku ambil minum dulu ya…”
“Ya..bawain juga buat Kana.”
“ehh… nggak usah repot-repot.” Padahal aku lagi haus-hausnya.
Pas Lian pergi buat ambil minum, Om Ketut ngajak ngobrol aku.
Dia pesen padaku agar selalu menjaga Lian, karena Lian sudah mulai
kepincut padaku... *jiahh....
Denpasar, Juli 2011
Berbulan-bulan aku di Bali, akhirnya aku memutuskan pindah sekolah ke
Bali setelah lulus SMP.Setelah lulus SMP aku daftar ke salah satu SMA
terfavorit di Denpasar, aku juga satu kelas dengan Lian.
Setelah cukup lama mengenal satu sama lain, akhirnya kita memutuskan
untuk melanjutkan hubungan pertemanan ke tingkat selanjutnya.
Berbulan-bulan aku pacaran sama Lian, sampe akhirnya tanggal 27 Juli
2011, tepat dimana Lian berumur tujuhbelas tahun.
Aku ngajak Lian ke seuatu tempat dinner ternama di Denpasar, disana aku udah siapin surprise spesial buat Lian.Ditengah-tengah surpriseku, Lian terlihat pucat dan secara mengejutkan keluar darah dari hidungnya.
“Lian… itu ada darah…”
“Darah? “ dia mengusap darah yang keluar dari hidungnya.
“Aku anterin ke dokter ya.”
Lalu, aku dan Lian ke dokter, sampainya disana, aku langsung calling Om
Ketut.Om Ketut langsung ke rumah sakit.Om Ketut ikut ke ruang
pemeriksaan bersama Lian, sedangkan aku menunggu di luar, karena hanya
orang tua atau kerabat yang boleh masuk.Setelah mereka keluar, aku
langsung nganter mereka kerumah.
Sesampainya di rumah, Lian disuruh Om Ketut masuk kamarnya, dan aku diajak ngobrol di ruang tamu.Aku Tanya ke Om Ketut.
“Emang, Lian kenapa?”
“Dia sudah mencapai titik kronis penyakitnya.
“Apa penyakitnya?”
“Sejak kecil, Lian sudah difonis dokter mengidap sebuah syndrome,
dimana dia nggak akan bertahan hidup melebihi usia tujuhbelas tahun,
kecuali ada yang mau mendonorkan sumsum tulang belakang, satu-satunya
yang bisa mendonorkannya adalah ibunya.Tapi ibu Lian sudah meninggal
saat Lian dilahirkan.”
“Kasihan Lian…”
“Mulai besok, kamu nggak usah deket sama Lian lagi, ini demi kebaikan kalian berdua.”
“Tapi om..”
“Ini permintaan Lian.”
Sampai disini aku tak tinggal diam, aku langsung contact temen facebook, twitter, friendster, G+, dan
sebagainya, kali aja ada temenku yang punya kenalan yang mau
mendonorkan sumsum tulang belakangnya, karna aku tak mungkin bisa, karna
golongan darahku A, sedangkan Lian O. ada salah satu kenalan temenku
yang golongan darahnya O, tapi nggak cocok dengan Lian, karena alasan
tertentu, ada juga yang cocok semuanya, tapi orangnya tidak mau untuk
mendonorkan sumsumnya, sampe aku berlutut meminta pertolongannya dia
tetep nggak mau.
Aku hampir putus asa, karena semua orang tidak ada yang cocok, kecuali
orang tadi.Aku kembali ke orang itu, kali ini aku terus memohon dan
memohon, demi keselamatan Lian.Tapi dia tetep bersikeras dengan
keputusannya.
Sorenya, aku diajak Lian ke tempat dimana kita pertama bertemu. Disana
aku mendorong kursi roda Lian, sampai di gapura langkahku berhenti,
karna tak mungkin mendorong kursi roda dengan medan seperti ini,
akhirnya aku menggendong Lian sampai ke tempat favorit, dari tempat
terfavorit kami berdua, yaitu Tanah Lot.Disana kita mengingat masa-masa
dimana kita tidak di permasalahkan dengan masalah ini.Di sela-sela
obrolan kami, disana ada nilai kehidupan dari sebuah kalimat yang
terucap oleh Lian.
“Kamu lihat matahari disana.?”
“Ya, emang kenapa.?
“Matahari itu bagaikan kehidupan, adakalanya matahari pun terbenam,
kemudian esoknya akan digantikan dengan cahaya baru yang lebih terang.
Seperti manusia pasti akan mengalami kematian, kemudian kehidupan akan
dilanjutkan oleh anak cucu kita kelak.”
“Kalau gitu, besok kalau udah nikah. Kita harus punya anak yang banyak, agar kelak penerus kita pun banyak.”
“Kamu itu....”
Disana kami mengenang dimana kami terus menikmati sunset dimasa lalu, melihat sang surya terbenam di ufuk barat, merasakan deburan ombak yang menghempas karang.
“Ini mungkin nge-date kita yang terakhir…” Lian mengejutkanku.
“Lha, kok.?”
“Karna mungkin besok, atau lusa aku sudah tiada.”
“Jangan ngomong kayak gitu…. Pamali…”
Secerca harapan datang dari seseorang misterius, yang kemarin aku
berlutut di depannya, akhirnya kini dia tersadar. Tapi diatak mungkin
datang sekarang karena kini jalan di daerah Denpasar sedang di
rekonstruksi, jadi dia harus memilih jalan memutar, otomatis dia akan
menempuh jarak yang lebih jauh.
Belum sampe dilaksanakannya trasplantasi sumsum tulang
belakang, keadaan Lian semakin buruk, dan akhirnya Lian berada di titik
terberatnya yaitu koma. Sedangkan orang itu belum sampai, aku teruscontact dia terus menerus, tapi hp-nya selalu mailbox .
“Sudahlah… itu mungkin bukan rezeki Lian..” kata Om Ketut.
“Tapi, ini satu-satunya om…”
“Sabar…”
Saat aku sedang kebingungan, tiba-tiba keadaan Lian memburuk, disaat
bersamaan orang misterius datang, tapi transplantasinya tak mungkin
dilakukan karena, demi kebaikan kondisi Lian.
Tiba saatnya kondisi paling kritis yang dialami Lian, dokter
berusaha keras mempertahankan hidup Lian, aku dan Om Ketut terus berdoa
demi Lian.Dokter keluar dengan wajah suram, dan aku sudah bisa menebak
jawabanya.Tapi aku tetap bertanya.
“Lian, gimana keadaannya.?”
“Kami sudah berusaha dengan sekuat tenaga, tapi apalah daya manusia, kuasa Tuhan tak ada tandingnya…”
Aku hanya berusaha ikhlas, kemudian Om Ketut memberikan sebuah surat ke aku.
“Kana, ini surat dari Lian, yang ditulis sebelum dia meninggal.”
Tanpa pikir panjang, aku langsung membukanya.
***
Untuk seseorang yang telah menabrakku.
Ini mungkin surat pertama dan terakhirku, tapi walaupun
begitu, inilah surat sederhanaku yang ditulis dengan tulisan tangan yang
lecek, karna aku tak sanggup lagi menulis dengan rapih. Hmm… bila ada
tawa pasti ada tangis disampingnya, bila ada kehidupan di dunia ini,
maka ada kematian disisinya.Begitulah hidup, ikhlaskanlah aku, ketimbang
aku masih hidup, aku hanya menyusahkanmu, menyuruhmu kesana kamu ikuti,
nyuruh kamu gitu, kamu ikuti juga. Disini aku sudah tenang, disini aku
sudah tak merasakan sakit, sebenarnya aku ingin kembali ke masa lalu,
masa dimana aku tidak merasakan sakit, masa dimana aku senang, sedih,
merasakan haru, dan masa dimana aku bersama ayah dan kamu. Tapi semua
itu berarti aku harus menyusahkan kamu dan ayah lagi… aku juga telah
meminta suatu hal ke Tuhan…
Tuhan, bolehkah aku meminta untuk memberikan harum bunga
melati kepada setiap orang yang kutinggalkan?Biarkan harum tersebut
menghapus duka dalam hati mereka, biarkan harum tersebut membawaku
padamu.Karena aku telah siap untuk tinggal bersamamu di istanamu.Dan
biarkan harum tersebut mengakhiri duka sedih ini menjadi kebahagiaan.
Biarkan harum tersebut menjadi pertanda aku telah pergi dari dunia ini….
Tertanda, Ni Wayan Lian Azalia...
***
Sejak saat itu aku mulai berusaha untuk mengikhlaskan kepergian Lian,
pada upacara Ngaben-nya Lian aku dan keluargaku berserta ayah Lian,
mengikuti upacara dengan khikmat, selepas itu aku dipercayai untuk
menghanyutkan abu jasad Lian ke lautan. Setelah itu aku tidak langsung
pulang, terlebih dahulu aku mengunjungi tempat favorit kami, disana aku
menyaksikan senja yang sedang menghilangkan dirinya, disampingku aku
melihat bayang Lian yang mengucapkan salam perpisahan…
“Hom syifa... syifa... syifa...”
“Hom syifa... syifa... syifa...”
“Lian, izinin aku moveon ya….”
(Lian tersenyum dan menganggukan kepala).
Sejak saat itu, aku secara rajin mengunjungi tempat ini, tempat dimana
aku pertama kali bertemu Lian, tempat dimana kami bersuka ria, tempat
dimana kami saling meluapkan perasaan kami bersama pada senja yang
temaram, ohh... tapi senja kelabu ini juga yang telah mengingatkanku,
bahwa disinilah aku dan Lian terakhir bertemu.
~ArachnizAzalea~
No comments:
Kami mengharapkan komentar dan kritikan yang membangun, ..